Bisnis.com, Jakarta – Awal Oktober ini BPS mengumumkan tahun 2024 Data inflasi September – 1,84% (m/m). Tingkat inflasi ini terbilang rendah, apalagi dibandingkan negara maju lainnya (emerging market).

Inflasi yang rendah ini jelas merupakan kabar baik. Dari perspektif keuangan, inflasi yang rendah meningkatkan tingkat suku bunga riil. Kenaikan suku bunga riil dapat menjadi “permen manis” bagi penanaman modal asing (portofolio) untuk masuk ke Indonesia.

Investasi asing masuk, nilai tukar menguat. Dan terbukti, rupiah saat ini bisa bertahan di bawah Rp 15.500 terhadap dolar Amerika Serikat (AS).

Inflasi rendah hingga tahun 2024. terutama mendukung mulai tahun 2024 Mei inflasi bulanan. Penurunan inflasi terjadi secara merata pada seluruh komponen inflasi.

Inflasi terutama ditopang oleh komponen inflasi akibat gejolak pada kelompok makanan dan non makanan. Kelompok makanan dan bahan makanan yang mudah menguap mulai tahun 2024. pada bulan April sebenarnya mengalami inflasi selama 6 bulan berturut-turut.

Yang tidak kalah pentingnya adalah kontribusi inflasi dari kelompok energi. Mulai tahun 2023 pada bulan September inflasi energi tahun-ke-tahun (YoY) jauh lebih rendah dibandingkan sektor lainnya.

Faktanya, inflasi energi disetahunkan selama 7 bulan berturut-turut sejak tahun 2023. pada bulan November hingga tahun 2024 pada bulan Mei pada tahun 2024 pada bulan September inflasi energi tahunan juga -0,29% (y/y).

Apakah rendahnya inflasi ini merupakan fenomena unik yang terjadi di Indonesia? Jawabannya adalah, tidak. Inflasi yang rendah merupakan fenomena global. Dunia sedang mengalami hal serupa. Misalnya, inflasi AS juga turun signifikan, dari 3,35% (tahun) pada tahun 2023. pada bulan Desember menjadi 2,53% (YoY) pada tahun 2024 pada bulan Agustus

Penurunan inflasi ini mendorong Federal Reserve (Fed) AS untuk memangkas suku bunga pada tahun 2024. pada bulan September memangkas suku bunga secara signifikan sebesar 50 basis poin (bps).

Negara maju lainnya seperti Eurozone, Inggris, dan Jerman juga mengalami penurunan inflasi. Hanya Jepang, negara maju, yang justru mengalami kenaikan inflasi. Ini juga mencakup pasar negara berkembang lainnya seperti Brasil, Meksiko, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan. Inflasi juga menurun di negara-negara ASEAN. Tren penurunan inflasi selama setahun terakhir sama di semua negara.

Mengapa inflasi yang rendah kini menjadi fenomena global? Jawabannya adalah harga komoditas penyumbang inflasi juga turun, terutama pada kelompok pangan dan energi.

Tentu kita masih ingat alasannya di tahun 2022 ini inflasi global meningkat di tengah-tengah. Menurut Indeks Harga Pangan FAO, harga pangan juga akan meningkat pada tahun 2022. Faktanya, pada tahun 2022 Berbaris Indeks harga pangan FAO mencapai titik tertinggi sepanjang masa yaitu 160,28.

Saat ini, tekanan terhadap harga komoditas penting tersebut (energi dan pangan) relatif berkurang. Sejak tahun 2023, harga energi dan pangan mengalami penurunan yang signifikan dibandingkan tahun 2022. Harga komoditas juga akan terus mengalami penurunan pada tahun 2024. Maka tidak mengherankan jika inflasi global juga menurun selama setahun terakhir.

Anjloknya harga bahan baku saat ini tidak lepas dari melemahnya permintaan bahan baku di pasar global. Penurunan harga komoditas juga terjadi pada bahan baku logam dan mineral yang merupakan kebutuhan utama industri serta bahan baku energi. Di sisi lain, industri global saat ini mengalami pemanfaatan kapasitas yang buruk.

Menurut data OECD, utilisasi kapasitas industri di Amerika Serikat misalnya pada tahun 2024 akan berada di bawah 80%, mendekati tahun 2020-2021. pandemi dan 2023 kondisi. Perbandingannya lebih rendah dibandingkan tahun 2023.

Di negara maju (AS, Eropa, Jepang), indeks PMI manufaktur masih berada pada zona penurunan (di bawah 50). PMI manufaktur di negara-negara berkembang seperti Tiongkok dan Indonesia juga berada di bawah tekanan pada tahun 2024. pada bulan September akan berada di zona penurunan.

Turunnya harga komoditas mengurangi biaya produksi. Sehingga membantu mengurangi inflasi dari segi biaya produksi (cost pressure Inflation).

Pertanyaannya, mengapa industri tidak meningkatkan produksi padahal biaya produksi turun? Yang terjadi justru aktivitas produksi industri global menurun. Jawabannya adalah situasi ini kemungkinan besar disebabkan oleh berkurangnya permintaan konsumen di seluruh dunia.

Di Indonesia, rendahnya permintaan dapat dijelaskan dengan berbagai indikator. Dari sisi perbankan, penurunan permintaan terlihat pada pertumbuhan kredit, khususnya kredit UMKM.

Hingga tahun 2024 pada bulan Juni kredit perbankan tumbuh sebesar 12,36% (tahun). Sayangnya, kredit UMKM hanya tumbuh sebesar 5,68% (yoY). Pertumbuhan kredit terutama didorong oleh kredit kepada perusahaan besar (korporasi) yang tumbuh sebesar 15,89% (tahun). Sayangnya, pertumbuhan kredit korporasi tidak mencakup sektor-sektor perekonomian yang menghasilkan lapangan kerja, seperti industri dan perdagangan. Kredit kedua sektor ini tumbuh sebesar 9,94% (y/y) dan 9,87% (y/y).

Rendahnya pertumbuhan sektor-sektor ekonomi yang menyerap sebagian besar tenaga kerja kini telah menjadi fenomena nasional. Hal ini menyebabkan daya beli lebih rendah, permintaan lebih rendah, dan inflasi lebih rendah.

Apakah situasi ini akan terus berlanjut? Jawabannya tergantung pada tiga hal. Pertama, apakah pemulihan ekonomi global akan terjadi dengan cepat. Sebab, sebagian besar produk yang diproduksi di Indonesia bergantung pada pasar luar negeri. Kedua, investasi pada sektor-sektor ekonomi utama dapat dilakukan dengan cepat. Ketiga, bagaimana respons pemerintah terhadap pemulihan daya beli?

Tapi jangan putus asa dulu. Pasalnya, melemahnya kinerja investasi yang terjadi menjelang berakhirnya suatu pemerintahan hampir selalu merupakan fenomena yang “normal” di Indonesia.

Selalu ada sikap wait and see sebelum membentuk pemerintahan baru. Berdasarkan pengalaman, aktivitas investasi akan kembali normal setidaknya satu semester setelah terbentuknya pemerintahan baru. Permintaan diperkirakan akan pulih dan tekanan inflasi dari sisi permintaan akan kembali.

Tentu saja, tidak perlu terlalu panik jika rendahnya inflasi disebabkan menurunnya daya beli. Namun jangan terlalu cepat mengaitkan rendahnya inflasi saat ini dengan keberhasilan pengendalian. Oleh karena itu, rendahnya inflasi merupakan fenomena global yang didukung oleh faktor internasional.

Kami memiliki cukup modal untuk menjadi tuan rumah pemerintahan baru. Nilai tukar rupee dan harga barang-barang pendukung inflasi cukup baik. Masih harus dilihat bagaimana momentum positif ini dapat dimanfaatkan untuk membangkitkan kembali dunia usaha, khususnya UKM, dan daya belinya. Agar inflasi kita kembali “normal”.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel