Bisnis.com, JAKARTA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan terus memantau dana nasabah PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. (BBTN) atau BTN yang diduga hilang dari rekening tanpa sepengetahuan pengguna.

Direktur Eksekutif Jasa Keuangan, Pelaku Usaha, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen OJK Friederika Vidyasari Dewey mengatakan, pihaknya telah menyelidiki pengaduan 19 konsumen terkait dana nasabah yang hilang. 

“Hari ini OJK juga meminta BTN mengirimkan informasi, setelah itu pihak bank akan menindaklanjuti pertemuan tersebut dan akan terus kami monitor,” ujarnya dalam RDK bulanan, Senin (6/10/2024).

Wanita yang akrab disapa Kiki itu juga menyoroti, proses verifikasi di OJK masih berlangsung di BTN. 

Ia mengatakan, selain kasus BTN, berdasarkan POJK Nomor 22 Tahun 2023 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat Sektor Jasa Keuangan, Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) harus bertanggung jawab atas kerugian konsumen yang disebabkan oleh kesalahannya. kelalaian atau tindakan yang bertentangan dengan peraturan, baik dari pihak direksi, komisaris, pegawai maupun pihak ketiga yang bekerja sama dengan PUJK.

Namun OJK juga akan memperhatikan unsur kelalaian konsumen. Pasalnya dalam POJK tidak hanya PUJK yang mempunyai kewajiban, namun konsumen juga mempunyai kewajiban dalam memahami kontrak dan perjanjian.

Oleh karena itu, OJK harus menjadi pusat apakah ada pelanggaran yang dilakukan PUJK dan juga melihat dari sisi konsumen, ujarnya. 

Sebelumnya, Kiki juga mengatakan pendidikan tinggi di OJK tidak memiliki hubungan positif dengan tingkat literasi seseorang.

“Tidak jarang masyarakat yang berpendidikan tinggi menjadi korban penipuan, tidak hanya pada kegiatan keuangan ilegal, tapi juga pada PUJK yang sah,” jelasnya. 

Ia mengatakan, dalam beberapa kasus masyarakat yang berpendidikan tinggi cenderung berperilaku tidak bertanggung jawab terhadap keuangannya, dimana mereka menyimpan uang secara informal, dimulai dengan menitipkannya kepada orang yang mereka percaya, seperti agen penjualan.

“Misalnya [korban] adalah pelanggan prioritas, biasanya dia mau menandatangani formulir [kosong] dan [akhirnya] terjadi sengketa konsumen,” ujarnya. 

Menurut dia, kasus penipuan di bidang keuangan terus menimpa banyak kelompok masyarakat, karena ada masyarakat yang ingin mendapatkan keuntungan besar secara instan. Kurangnya akses keuangan formal memungkinkan masyarakat beralih ke investasi ilegal.

“Kemajuan teknologi juga bisa, dengan mempermudah penyebaran penipuan, masyarakat menjadi terpapar [penipuan], membacanya dan kemudian ditipu,” kata Kiki. 

Faktanya, seringkali orang terjebak karena faktor psikologis. “Kadang kalau ada orang terdekat yang menyarankan, jadi [mudah] percaya,” tutupnya.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel.