Bisnis.com, JAKARTA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan rancangan peraturan atau RPOJK tentang transparansi suku bunga kredit dasar Bank Umum Konvensional (BUK) sedang dalam tahap harmonisasi akhir di Kementerian Hukum dan Kemanusiaan. hak 

Direktur Eksekutif Pengawasan Perbankan OJK Dian Edina Rae mengatakan, sesuai POJK 37/2019 dan SEOJK 8/2020 tentang ketentuan suku bunga pinjaman preferensial yang masih berlaku, nasabah dapat melihat jenis-jenis pinjaman preferensial. di situs web dan memberi saran. papan jaringan kantor bank. 

Sejalan dengan itu, perbankan juga telah mengkomunikasikan dalam media yang sama tingkat suku bunga yang ditawarkan atau suku bunga kredit (SBK). 

“Saya berharap [transparansi SDBK] bisa segera diumumkan,” ujarnya melalui keterangan tertulis, Senin (15/7/2024).

Sebagaimana diketahui, suku bunga kredit merupakan suku bunga terendah yang menunjukkan kewajaran biaya-biaya yang dikeluarkan bank, termasuk keuntungan yang diharapkan.

Komponen SBDK meliputi Harga Dasar Dana Kredit (HPDK) yang diperoleh dari kegiatan penghimpunan dana, biaya overhead dan margin keuntungan bank. 

Sementara itu, pengungkapan suku bunga kredit kepada OJK juga mencakup perkiraan premi risiko yang pasti akan disesuaikan dengan profil risiko masing-masing peminjam. 

Dian mengatakan melalui kebijakan ini diharapkan persaingan suku bunga antar bank akan semakin sehat, perbankan terpacu untuk lebih efisien sehingga dapat menawarkan suku bunga yang lebih kompetitif. 

Sedangkan bagi masyarakat sendiri, kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan literasi masyarakat agar dapat memahami dan membandingkan jenis-jenis bunga kredit preferensi antar bank dan pada akhirnya menciptakan mekanisme pasar yang baik. 

“OJK juga akan terus melakukan pengawasan khususnya dalam hal tata kelola pelaporan dan perhitungan komponen-komponen yang menjadi suku bunga utama pinjaman,” kata Dian.

Sekadar informasi, peraturan ini sudah menjadi perhatian masyarakat sejak pertengahan tahun 2023, namun penerbitan kebijakan ini tertunda dari perkiraan waktu penyelesaian dan siap diterbitkan pada akhir tahun 2023. 

Aturan ini kala itu muncul di tengah upaya pengendalian net interest margin (NIM) perbankan yang dinilai masih tinggi dan terus meningkat.   

NIM sendiri merupakan selisih antara tingkat bunga kredit yang diberikan bank dengan tingkat bunga yang dibayarkan kepada pemilik dana pihak ketiga (DPK) dalam bentuk simpanan atau pinjaman dari pihak lain.  

Semakin tinggi angka NIM menunjukkan semakin tinggi pula potensi keuntungan bank dari dana yang disalurkan. 

Berdasarkan data The Global Economy, pada tahun 2021 posisi NIM perbankan Indonesia menempati peringkat 31 global dengan 5,06%.

Di kawasan Asia Tenggara, NIM bank Indonesia menempati peringkat kedua atau tertinggal dari Kamboja dengan net interest margin pada tahun 2021 sebesar 5,35% atau gap 29 basis poin (bp).

Dan berdasarkan statistik perbankan Indonesia, NIM perbankan saat ini mencapai 4,56% hingga April 2024, turun dibandingkan bulan sebelumnya sebesar 4,59%. Secara tahunan, NIM juga terlihat mengalami penurunan sebesar 21 basis poin (bps) dari sebelumnya 4,77% pada April 2023.

Sebelumnya, Senior Vice President Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Trioksa Siahaan juga sependapat bahwa tujuan aturan ini adalah untuk mengendalikan margin bunga bersih (NIM) dan membuat nasabah lebih mengetahui komponen-komponen penentu tingkat suku bunga.

Trioksa mengatakan transparansi akan membuat masyarakat memilih suku bunga yang lebih rendah sehingga menciptakan efisiensi dan NIM terkendali.

Namun, dia mengingatkan, di tengah proses penerbitan aturan baru ini, regulator harus memperhatikan mekanisme regulasi mengenai besaran transparansi yang harus dipublikasikan bank.  

“Sehingga ketika publikasi tersebut tidak juga menyadarkan masyarakat akan rahasia yang ada di bank tersebut, maka harus diatur seberapa detail komponen-komponen yang harus dipublikasikan,” jelasnya.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel