Bisnis.com, Jakarta – Pada Kamis (27/6/2024), nilai tukar rupiah melemah hingga Rp 16.416 terhadap dolar AS. Pelemahan rupee terjadi di tengah greenback yang juga mengalami pelemahan.

Rupiah dibuka melemah 10,50 poin atau 0,06% ke level Rp 16.416 per dolar AS, menurut data Bloomberg. Indeks dolar AS naik 0,16% menjadi 106,07.

Sementara itu, mata uang lainnya di Asia dibuka bervariasi. Misalnya saja Won Korea menguat 0,02%, Yuan China menguat 0,02%, dan Rupee India menguat 0,14%. Di sisi lain, yen Jepang dan baht Thailand melemah masing-masing 0,17% dan 0,12%.

CEO Forexindo Futures Profit Ibrahim Aswaibi memperkirakan nilai tukar rupiah akan berfluktuasi namun hari ini akan melemah dari Rp 16.390 menjadi Rp 16.450.

Menurut dia, pergerakan mata uang tersebut dipengaruhi oleh sentimen data indeks harga PCE yang akan dipublikasikan. Angka ini merupakan ukuran inflasi pilihan The Fed, dan diharapkan menjadi faktor dalam menentukan sikap bank sentral terhadap suku bunga.

“Data PCE diperkirakan menunjukkan bahwa inflasi sedikit menurun pada bulan Mei, namun tetap berada di atas target tahunan The Fed sebesar 2%. Inflasi yang stabil memberikan ruang bagi The Fed untuk mempertahankan suku bunga tinggi lebih lama,” ujarnya.

Sementara itu, Ebrahimi mengatakan, dengan kondisi yang tidak menentu, para ekonom mengingatkan pemerintah, Bank Indonesia (BI) dan otoritas lainnya untuk lebih berhati-hati dalam memantau mata uang rupiah.

“Dengan melihat level tersebut, pemerintah dan otoritas moneter tidak boleh membiarkan nilai tukar Rupee menyentuh level Rp 16.500 karena level tersebut sangat penting untuk terus menumpuk sentimen negatif dari para pelaku pasar keuangan,” ujar Abraham.

Ia menambahkan, terdapat data perekonomian dalam negeri yang mempengaruhi sentimen pasar, antara lain defisit transaksi berjalan yang melebar menjadi $2,2 miliar dari $1,1 miliar pada kuartal I 2024.

Selanjutnya, Indeks Manajer Pembelian (PMI) Manufaktur Indonesia turun menjadi 52,1 dari 52,9 pada Mei 2024, sedangkan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Indonesia turun menjadi 125,2 dari 127,7 pada Mei 2024.

Faktor lainnya adalah meningkatnya kepemilikan investor terhadap instrumen lain seperti SBN, SBSN, dan SRBI, rendahnya rating saham Indonesia oleh Morgan Stanley, dan volatilitas beberapa harga saham.

————————————————— ——

 

Penafian: Buletin ini tidak dimaksudkan untuk mendorong pembelian atau penjualan saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab atas kerugian atau keuntungan yang diakibatkan oleh keputusan investasi pembaca.

Lihat berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel