Bisnis.com, Jakarta – Ribuan orang menandatangani petisi penolakan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada tahun 2025. Pasalnya, kebijakan ini dinilai semakin membebani perekonomian. Saat ini sedang mengalami penurunan.
Petisi yang muncul di laman change.org telah ditandatangani 2.808 orang pada hari ini, Kamis (21/11/2024) pukul 09.34 WIB. Petisi ini dibuat oleh akun bernama Bareng Warga.
Dalam permohonannya, Bereng Warga Count menilai rencana pemerintah menaikkan PPN menjadi 12% semakin memperparah penderitaan masyarakat. Sebab, harga berbagai kebutuhan seperti sabun mandi dan bahan bakar minyak (BBM) akan meningkat dan sangat mempengaruhi daya beli.
“Meski kondisi perekonomian masyarakat belum dalam kondisi baik,” tulis akun tersebut, mengutip Kamis (21/11/2024).
Menurut dia, jika pemerintah ngotot menaikkan PPN menjadi 12 persen pada tahun depan, maka daya beli masyarakat akan semakin menurun. Apalagi lemahnya daya beli sudah mulai terasa sejak Mei 2024 dan seterusnya.
“Kalau PPN terus dipaksa naik, daya beli bukan lagi turun, tapi turun,” ujarnya.
Dari sisi pengangguran terbuka, misalnya, sensus Bareng Warga yang mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan angkanya masih berkisar 4,91 juta orang pada Agustus 2024. Kemudian, dari 144,64 juta orang yang bekerja, mayoritas atau 57,94% bekerja di sektor informal yang jumlahnya mencapai 83,83 juta orang.
Ia juga menyoroti masalah upah pekerja. Masih dari data BPS Agustus 2024, rata-rata upah pekerja pada tahun 2020 berada di bawah rata-rata upah minimum provinsi (UMP). Trennya meningkat pada tahun 2022, namun kembali menurun pada tahun 2023.
“Tahun ini selisihnya hanya Rp 154.000,” ujarnya.
Namun, dia ragu apakah UMP bisa menjadi acuan pendapatan yang tepat. Misalnya saja di Jakarta. Untuk tinggal di kota metropolitan ini, catatan BPS pada tahun 2022 membutuhkan sekitar Rp14 juta per bulan, sedangkan UMP DKI Jakarta pada tahun 2024 hanya sebesar Rp5,06 juta. Apalagi dari fakta yang ada saat ini, masih banyak pekerja yang bergaji di bawah UMP.
Atas dasar itu, Bareng Warga bertanggung jawab kepada pemerintah berdasarkan UU No. 7 Tahun 2021 tentang Aturan Harmonisasi Perpajakan.
“Sebelum luka masyarakat semakin terbuka. “Sebelum saldo pinjaman online menyebar dan menyebar kemana-mana,” tutupnya.
Lihat berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel