Bisnis.com, Manggarai Barat – PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk. (MTEL) atau Mitratel, yang dimiliki oleh anak perusahaan Airbus, Aalto, bertujuan untuk mengkomersialkan drone bertenaga surya mulai tahun 2026.

Perkembangan teknologi Zephyr High Altitude Platform Station (Zephyr HAPS) dari Aalto menunjukkan kemajuan yang signifikan. 

Hendra Purnama, Direktur Mitratel Investments, mengatakan seiring dengan terus berkembangnya pengembangan HAPS oleh Airbus, pesawat Mitratel akan siap komersialisasi dalam 1-1,5 tahun. 

Hendra mengatakan, saat ini bobot atau daya angkut Hops Zephyr sudah mencapai 75 kg dari target 100 kg. Daya dukungnya mempengaruhi kemampuan perangkat dalam menjalankan fungsinya karena rencananya drone ini akan digunakan tidak hanya untuk konektivitas tetapi juga untuk Internet of Things (IoT), keamanan dan lain-lain.   

“Sekarang [Happs] bisa terbang 64 hari dari target 6 bulan tanpa turun.” Jadi mereka (Airbus) juga yakin bisa mencapainya saat ini dengan teknologi baterai, antena, dan panel surya. Target tersebut bisa tercapai dalam 1-1,15 tahun ke depan,” kata Hendra, Senin (5/7/2024).  

Hendra mengatakan, perseroan akan memastikan teknologi tanpa awak tersebut dioperasikan di dalam negeri sesuai aturan yang berlaku sesuai dengan teknologi HAPS yang terus dikembangkan Alto.

Teknologi ini memerlukan dukungan regulasi untuk memastikan Aalto Haps aman untuk penerbangan dan tidak mengganggu teknologi yang sudah ada. 

“Kami targetkan [Haps Alto] selesai pada tahun 2025… jadi kami sudah mulai berbicara dengan regulator,” kata Hendra. 

Sekadar informasi, FTS merupakan pencapaian baru di bidang teknologi telekomunikasi yang menyediakan sistem komunikasi dan pengawasan yang beroperasi di ketinggian stratosfer (sekitar 20 km di atas permukaan bumi), sehingga HAPS mirip dengan satelit namun dengan biaya operasional lebih rendah dan fleksibilitas lebih tinggi.

Dilansir dari situs resminya, Zephyr bekerja 100% menggunakan energi ramah lingkungan yaitu matahari. Berdasarkan pengujian yang dilakukan Airbus, Zephyr mampu bertahan di stratosfer hingga 64 hari.

Sebelum memperkenalkan produk ini, Airbus telah melakukan penelitian, desain, dan pengujian penerbangan secara intensif selama 20 tahun. Tak hanya itu, Zephyr juga telah mengudara selama lebih dari 4.000 jam, yang diklaim Airbus sebagai durasi penerbangan terlama yang pernah dibangun dengan teknologi HAPS.   

Airbus menyebut Zephyr sebagai teknologi inovatif yang menawarkan solusi baru untuk mengatasi tantangan konektivitas yang sudah berlangsung lama dengan lebih efektif dan efisien, terutama di daerah pedesaan. 

Daerah terpencil dengan medan yang terjal seringkali menjadi kendala bagi perusahaan telekomunikasi dalam menyediakan jaringan. Perusahaan telekomunikasi harus menggunakan satelit yang sangat mahal untuk menyediakan internet di daerah terpencil. 

Dengan luas sekitar 7.500 kilometer persegi atau setara dengan 250 menara, Zephyr berperan sebagai menara di angkasa yang dapat diintegrasikan ke dalam jaringan operator seluler. 

Tanggapan 

Kepala Divisi Infrastruktur Telematika Nasional, Mastel Sigit Puspito Vigati Zarot mengatakan Jaringan Non-Terestrial (NTN) termasuk satelit, HAPS, HIBS dan lainnya menjadi kepentingan negara-negara di seluruh dunia untuk konektivitas masa depan. Mampu melakukan pertempuran komplementer melawan BTS terestrial. 

Di era 5G-Advanced dan 6G, perhatian terhadap NTN semakin meningkat. 

“Apalagi seperti Indonesia yang kondisi alamnya sangat menantang untuk bisa mencakup seluruh geografi,” kata Sigit. 

Selanjutnya dibandingkan satelit, tinggi HAPS antara 18-22 KM, jadi dari segi latency sudah pasti lebih rendah dari satelit.

HAPS ada banyak jenisnya, ada yang berbentuk balon, pesawat terbang, dan lain sebagainya.  HAPS dinilai mempunyai potensi cakupan area greenfield dan objek yang terhubung ke Internet (Internet of Things/IoT). 

Jadi untuk komunikasi saat darurat dan bencana, private network, terrestrial backhaul, dan lain-lain, kata Sigit. 

Namun, menurutnya, teknologi ini juga mempunyai tantangan yaitu terkait dengan daya listrik dan juga ada cara untuk menjaganya pada ketinggian yang telah ditentukan. 

Ia juga mengatakan akan ada lebih banyak pilihan akses terhadap teknologi di masa depan. Wajar jika para operator terus menyadari potensi teknologi baru.

Begitu pula dengan pemerintah dari aspek regulasi, antara lain regulasi spektrum, regulasi penegakan, peluang usaha, dan lain-lain, kata Sigit. 

Ian Joseph Matthews Edward, Dosen Teknik Telekomunikasi, Fakultas Teknik Elektro dan Informatika, Institut Teknologi Bandung, mengatakan terbang BTS bisa menjadi pilihan untuk menyediakan konektivitas ke daerah yang sulit dijangkau atau pedesaan. 

Namun untuk menerapkan teknologi tersebut, pemerintah dan Mitral harus melakukan uji coba terlebih dahulu dan memastikan frekuensi Haps tidak mengganggu pemain yang ada. 

“Frekuensi bekas sudah diambil dan diuji tanpa mengganggu frekuensi yang sudah ada,” kata Ian.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel