Bisnis.com, Jakarta – Harga minyak mentah turun tipis selama tiga hari berturut-turut akibat melemahnya permintaan China dan dampak penguatan dolar Amerika Serikat (AS). 

Minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Agustus 2024 turun 0,74% menjadi US$81,30 per barel pada pukul 13.53 WIB, berdasarkan data Bloomberg pada Selasa (16/7/2024). 

Sedangkan kontrak minyak mentah jenis Brent untuk pengiriman September 2024 turun 0,68% menjadi US$84,27 per barel.

Satu barel minyak mentah WTI mendekati 81 dolar AS. Belakangan, minyak mentah Brent turun menjadi US$84 per barel setelah mengalami penurunan 0,6% di dua sesi sebelumnya. 

Mata uang AS menguat selama dua hari berturut-turut menyusul upaya pembunuhan terhadap calon presiden AS Donald Trump pada Selasa (16/7). 

Minyak mentah juga didukung pada tahun 2024 oleh ekspektasi pembatasan pasokan OPEC+ dan penurunan suku bunga AS. Namun ancaman utama terhadap pasar adalah Tiongkok. 

Pada kuartal kedua tahun 2024, produk domestik bruto (PDB) Tiongkok secara tak terduga mencatat laju paling lambat dalam lima kuartal. Tiongkok mengadakan sidang paripurna minggu ini untuk menyusun kebijakan ekonomi dan politik secara luas. 

“Perlambatan ekonomi Tiongkok masih mencerminkan lemahnya kepercayaan konsumen [yang akan memberikan tekanan pada harga minyak],” jelas analis Commonwealth Bank of Australia, Vivek Dhar.

Sesi pleno ketiga Tiongkok sedang berlangsung, namun reformasi kebijakan yang mengubah keadaan sepertinya tidak mungkin terjadi, katanya. 

Ahli strategi pasar IG Yip Jun Rong juga mengatakan lemahnya data ekonomi Tiongkok telah menimbulkan keraguan mengenai apakah para pelaku pasar terlalu optimis terhadap prospek permintaan minyak Tiongkok. 

“Angka produk domestik bruto dan penjualan ritel kuartal kedua dikejutkan dengan margin yang signifikan, kemungkinan mengecewakan ekspektasi terhadap langkah-langkah stimulus yang lebih kuat di sesi penuh ketiga,” kata Yep seperti dikutip Reuters pada Selasa (16/7). 

Mengenai perekonomian Negeri Paman Sam, banyak analis yang memperingatkan agar tidak terlalu optimis karena beberapa data makroekonomi AS yang melemah secara tidak langsung berisiko merugikan permintaan minyak dalam jangka pendek.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel