Bisnis.com, Jakarta – Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kemungkinan akan tertekan jika Donald Trump kembali terpilih sebagai presiden AS pada Pilpres 5 November 2024.
Rupee berisiko melemah jika Donald Trump, yang menang telak setelah Biden mengumumkan pengunduran dirinya, kembali menjadi presiden Amerika Serikat (AS), ungkap Direktur Riset Inti Keuangan Itika Kariani.
Itika menunjukkan bahwa Trump telah membuat janji politik untuk meredakan perang Rusia-Ukraina serta Israel dan Palestina. Namun, Trump juga mengatakan bahwa dia akan secara agresif melanjutkan perang dagang dengan Tiongkok.
“Jika ini terjadi, kemungkinan besar harga saham Asia akan turun akibat kebijakan Trump. “Pada akhirnya hal ini berdampak pada indeks harga saham Indonesia dan rupiah,” ujarnya, Selasa (23/07/2024).
Sebagaimana diketahui, Tiongkok merupakan mitra dagang utama Indonesia dengan pangsa pasar ekspor sebesar 23,71% dan pangsa impor mencapai 35,2% pada Juni 2024.
Jika di satu sisi Trump menghentikan perang di Rusia dan Ukraina serta di Israel dan Palestina, maka Tiongkok akan menjadi sasaran empuk perang dagang AS.
Di sisi lain, Tiongkok sedang menghadapi perlambatan ekonomi. Hal ini tercermin dari pertumbuhan ekonomi Tiongkok sebesar 4,7% pada kuartal II-2024, di bawah ekspektasi sebesar 5,1%.
Secara global, Attica melihat kemenangan Trump kemungkinan besar akan berdampak signifikan terhadap pasar keuangan.
Etika mengatakan, kondisi pemilu presiden Amerika Serikat (AS) tahun ini akan berbeda dengan kemenangan Trump pada 2016 yang mengguncang indeks dolar.
Berdasarkan data Bloomberg, indeks dolar AS menguat pada tahun 2016 saat Trump terpilih menjadi presiden AS. Pada akhir tahun 2016, indeks dolar berada pada angka 102,21.
Namun, indeks dolar menurun pada masa pemerintahannya. Pada akhir tahun 2020, ketika Joe Biden terpilih sebagai presiden AS, indeks dolar berada di angka 89,937.
“Pada tahun 2016, ketika Trump menang, indeks dolar naik dan bisa melemahkan mata uang negara lain. “Hal itu tidak akan terjadi lagi karena kebijakan The Fed akan lebih berperan,” ujarnya.
Menurut dia, kebijakan Federal Reserve (Fed) akan lebih longgar. Akibatnya, kemungkinan besar The Fed akan memangkas suku bunga fed funds rate (FFR) lebih besar dari perkiraan.
“Di tengah tingginya inflasi AS, ada kemungkinan The Fed akan menurunkan suku bunganya. Jika The Fed melakukan pemotongan dua kali pada bulan September dan November, kemungkinan besar Bank Indonesia juga akan melakukan pemotongan dua kali,” lanjutnya.
Satu hal yang perlu dipertimbangkan mengenai kemungkinan ini adalah jika kebijakan fiskal AS terlalu longgar, hal ini akan memicu peningkatan inflasi dan pada akhirnya membalikkan pemotongan suku bunga The Fed.
Secara terpisah, Bank Indonesia (BI) juga meyakini akan berbeda ceritanya di pasar uang jika Trump menang tahun ini.
Kepala Bidang Pengelolaan Aset Mata Uang dan Surat Berharga Bank Indonesia (BI), Ramdan Deni Prakoso mengatakan persaingan Pilpres AS kali ini berbeda dengan fenomena saat Donald Trump mencalonkan diri pada 2016.
“Semua orang bisa memprediksi Trump akan menang, sehingga diasumsikan bahwa kebijakan pasar uang The Fed akan berdampak lebih besar di pasar uang dibandingkan terpilihnya Trump. Lain ceritanya dengan sekarang di tahun 2016,” ujarnya, Selasa. .Dikatakan kepada (2). 3). /7/2024).
Lihat berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel