Bisnis.com, Jakarta – Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPENAS) Suharso Monoarfa menjelaskan kondisi keuangan daerah saat ini.

Hal itu disampaikannya saat memberikan pemaparan pada Konferensi Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) 2024 yang digelar di Jakarta Convention Center (JCC), mengenai penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2025 dengan tema “Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Berkelanjutan dan Inklusif”. . . Senin (06/05/2024).

Sementara itu, Bapak Suharso menyampaikan bahwa upaya pencapaian tujuan pembangunan nasional harus disesuaikan dengan situasi dan kemampuan fiskal pusat dan daerah.

“Pendapatan primer daerah belum dominan, masih bergantung pada PAD yang mencapai di atas 80% rata-rata nasional,” ujarnya.

Di sisi lain, Suharso memiliki tarif pajak dewan yang relatif rendah di tingkat nasional, yaitu hanya 0,51%.

“Pajak dan pajak negara tidak dapat mendukung infrastruktur dan layanan penting lainnya. Banyak yang harus dilakukan dan direncanakan dengan baik,” ujarnya.

Dia mengatakan bahwa setidaknya 600 triliun birr dibutuhkan untuk memperkuat pasokan air minum dan jalan setidaknya selama lima tahun ke depan. Suharso mengatakan, ketidakseimbangan antara kapasitas fiskal daerah dan kebutuhan keuangan daerah menghambat pemerintah daerah dalam melaksanakan kegiatan pembangunan.

Apalagi kalau kita lihat struktur APBD sebagian besar untuk belanja rutin, belanja pegawai 37-40%, maka kita bisa memahami ada perbedaan kapasitas fiskal daerah, dan ada juga perbedaan. dalam hal kekuasaan, aset, karakteristik, dan lain-lain, sehingga memerlukan sinkronisasi pembangunan pusat dan daerah. Pembangunan memerlukan partisipasi pemangku kepentingan, kata Suharso.

Dalam program yang sama, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menyayangkan pembangunan di berbagai daerah di Indonesia tidak dilakukan secara simultan atau antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

“Saya beri contoh, pemerintah pusat akan membangun bendungan, yang disebut Bangun kembali sistem irigasi utama dan hanya itu. Dalam forum tersebut, Jokowi mengatakan: “Namun sawah tidak diairi pada tingkat sekunder dan tersier [oleh pemerintah daerah], air tidak sampai ke sawah tempat kita berada.”

Padahal, menurut Jokowi, pemerintah memiliki Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP).

Oleh karena itu, harus ada koordinasi antara upaya pembangunan pemerintah pusat dan negara bagian, katanya.

Yang belum terjadi adalah apakah sesuai dengan rencana besar yang kita buat. Ini adalah sesuatu yang belum terjadi. “Jadi waktu adalah kuncinya,” katanya.

Oleh karena itu, kepala pemerintahan menekankan bahwa pejabat kementerian harus berpartisipasi aktif dalam diskusi dengan pemerintah daerah untuk memastikan bahwa setiap rencana pembangunan berjalan secara harmonis.

“Misalnya kita [pemerintah pusat] mau bangun waduk untuk Pintu Kulo Nuun, tapi irigasi sekundernya tinggi (disediakan negara). “Jika Anda tidak mampu membelinya, pergilah ke negara bagian lain,” katanya.

Sejauh ini, dalam peninjauan, Presiden mengaku Gubernur selalu setuju untuk mendukung pembangunan di daerah yang dikunjunginya.

Sayangnya, kata Jokowi, kata manis tersebut hanya sebatas di bibir dan akhirnya tidak terealisasi karena minimnya APBD.

“Kalau gubernur minta, biasanya mereka bilang bisa. Kalau [pusat] sudah selesai, kalau sudah selesai [bangunan], mereka bilang, ‘Wah susah sekali pak, APDD kita habis untuk ini.’ Ini ada di Bapeda, ada yang urus DPRD, sekda sehari-hari urus.

Lihat berita dan artikel lainnya di Google Berita dan The Watch Channel