Bisnis.com, JAKARTA – Kerja sama antara Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan asuransi swasta dinilai bisa memberikan manfaat tambahan bagi peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Melalui kerja sama ini, anggota BPJS Kesehatan tidak hanya mendapatkan pelayanan kesehatan kelas satu dan lanjutan yang ditanggung BPJS Kesehatan, namun juga dapat memanfaatkan layanan rawat inap dan rawat jalan lanjutan dengan tambahan asuransi.

Skema kerja sama ini dikenal dengan Coordinated of Benefit (CoB). Namun tidak semua perusahaan asuransi swasta melanjutkan kerja sama tersebut. Praktisi manajemen risiko dan Ketua Umum Asosiasi Penjamin Emisi Asuransi Indonesia (Kupasi) Wahyudin Rahman menjelaskan, mundurnya perusahaan asuransi bukan disebabkan oleh kerja sama itu sendiri, melainkan tingginya puncak klaim asuransi kesehatan.

“Perusahaan asuransi melakukan perbaikan portofolio melalui stop loss karena besarnya surplus yang dihasilkan untuk penyakit kritis dan layanan klinis, selain inflasi medis,” kata Vahyudin kepada Bisnis, Minggu (21/07/2024).

Menurut Vahyudin, skema CoB masih menjadi metode kerja sama terbaik dengan asuransi swasta. Namun, kondisi inflasi medis membuat skema ini kurang menguntungkan. Oleh karena itu Vahyudin mengusulkan untuk mendesain ulang skema CoB menjadi skema bagi hasil, dimana jika asuransi swasta mengalami kerugian maka dana pinjaman akan digunakan, dan sebaliknya jika asuransi swasta mengalami surplus maka dana dapat digunakan asalkan oleh BPJS Kesehatan.

Sementara itu, Presiden Sekolah Tinggi Manajemen Risiko dan Asuransi (STIMRA) Abitani Taim menegaskan, kerja sama CoB sangat bergantung pada perjanjian bisnis yang menguntungkan semua pihak dan ditinjau setiap tahun. Ia juga menyarankan agar skema tersebut diatur oleh pemerintah, mengingat BPJS Kesehatan menjalankan program pemerintah dan pendapatan dari kerjasama CoB harus dimasukkan dalam pendapatan yang diperbolehkan BPJS Kesehatan.

Ketua Dewan Pengawas BPJS Kesehatan Abdul Kadir mengidentifikasi empat permasalahan utama yang menghambat optimalisasi kerja sama antara BPJS Kesehatan dan asuransi swasta. Pertama, belum adanya aturan teknis pelaksanaan Kebijakan Koordinasi antara Penyedia Jasa Asuransi (KAPJ) dan Asuransi Kesehatan Tambahan (AKT). Kedua, tidak adanya skema cost sharing antara AKT dan BPJS Kesehatan. Ketiga, perbedaan skema penjaminan, dimana AKT dominan menggunakan skema reimbursement, sedangkan BPJS Kesehatan menggunakan skema Managed Care. Terakhir, belum ada kebijakan model tarif kooperatif antara BPJS Kesehatan dan asuransi swasta.

Abdul Kadir juga merekomendasikan Kementerian Kesehatan untuk menetapkan standar biaya tertinggi pada setiap rumah sakit untuk mencegah penipuan. “Kami berharap Kementerian Kesehatan menetapkan standar biaya setinggi-tingginya untuk setiap rumah sakit, karena jika tidak, rumah sakit bisa melakukan penipuan,” ujarnya saat rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komite IX DPR RI, Kamis (6/6/2025). ).

Guna meningkatkan efektivitas kerja sama, Abdul Kadir juga berpesan kepada BPJS Kesehatan dan pemangku kepentingan terkait untuk mengembangkan mekanisme interoperabilitas dan keterbukaan data pembayaran dengan sistem bilingual tunggal antara asuransi swasta dan BPJS Kesehatan. Selain itu, sistem sosialisasi dan pemantauan yang efektif juga harus diterapkan untuk meminimalkan kasus klaim ganda, out-of-pocket dan potensi penipuan, serta harus dibentuk kelompok kerja (Pokja) untuk lebih mempertimbangkan saran-saran yang membangun.

Lihat berita dan artikel lainnya di Google Berita dan saluran WA