Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah melakukan perubahan besar dalam kebijakan pengembangan mobil listrik, mulai dari perlindungan pasar hingga pelonggaran kebijakan impor untuk menarik investasi terlebih dahulu. Alhasil, BYD pun datang dari China, namun tujuan mengundang Tesla tidak tercapai.

Namun perubahan kebijakan ini membawa permasalahan tersendiri. Awalnya, kebijakan pengembangan kendaraan listrik mengacu pada Keputusan Presiden Nomor 2663. 55/2019 dan turunannya menarik perhatian Hyundai dan tergerak menggelontorkan dana besar untuk mendirikan pabrik dan ekosistem baterai.

Kebijakan tersebut kemudian direvisi. Pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden. 79/2023 dan turunannya akan memperbolehkan produsen lain mengimpor mobil listrik lengkap (Completely Built/CBU), dengan syarat memenuhi rencana lokalisasi dan persyaratan TKDN.

‘Karpet merah’ ini menjawab keinginan produsen mobil listrik besar seperti Tesla dan BYD. Untuk pertama kalinya, pemerintah memberikan tekanan kepada Elon Musk, pemilik perangkat tersebut sejak lama.

Bahkan, rombongan pemerintah yang dipimpin langsung oleh Presiden Joko Widodo menyambangi markas Tesla dan bertemu langsung dengan Elon Musk. Namun yang terjadi selanjutnya, Elon Musk tidak mendatangkan produsen mobil listrik ke Indonesia, melainkan menawarkan layanan internet satelit Starlink.

Kemarin, Rabu (6/5/2024), Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan yang aktif menekan Elon Musk mengungkapkan, minimnya investasi Tesla terkompensasi dengan hadirnya BYD. Pemerintah tidak lagi tertarik memenuhi komitmen investasi Tesla.

“Nafsu kita terhadap kontribusi Tesla sekarang sedikit berkurang, karena BYD hadir, kita lihat kualitasnya bagus, harganya murah, dan modelnya bagus,” kata Luhut dalam Forum Ngobrol di Kuningan Menara Global. dikatakan.

Luhut menegaskan, Indonesia sudah tidak punya harapan lagi terhadap Tesla. Menurutnya, Elon Musk telah mengambil kebijakan membatasi investasi mobil listrik tidak hanya di dalam negeri tetapi di mana pun.

Di sisi lain, berkat pemberian insentif dan keleluasaan impor mobil listrik CBU, tidak hanya BYD tapi juga banyak merek lain yang berdatangan. Cukup menyebut merek China lainnya seperti GAIC dan GWM atau VinFast dari Vietnam.

Mereka berlomba-lomba mendapatkan insentif berupa pembebasan bea masuk dan pajak penjualan atas barang mewah atau PPnBM. Masalahnya, keistimewaan importir mobil listrik ini merupakan klaim pemerintah.

Pasalnya, investasi di sektor otomotif masih minim di antara banyaknya merek yang selama ini terjun ke pasar mobil listrik Tanah Air. Ambil contoh, investasi di sektor otomotif China yang tercatat hanya US$3,69 juta atau setara Rp 57,96 miliar, meski banyak merek yang masuk ke pasar dari dalam.

Hal inilah yang membuat marah Hyundai. Pabrikan asal Korea Selatan itu mengalokasikan dana besar untuk membangun fasilitas produksi, termasuk pabrik sel baterai dan pengemasan.

Hyundai Kona EV baru bahkan dijanjikan akan mengusung baterai rakitan lokal begitu pabriknya mulai beroperasi dalam waktu dekat.

Fransiscus Soerjopranoto, COO Hyundai Motors Indonesia, mengatakan peraturan baru tentang mobil listrik tidak konsisten, terutama bagi perusahaan yang sudah banyak berinvestasi di Indonesia.

Meski Hyundai telah menunjukkan komitmen investasinya dengan memiliki fasilitas produksi yang dapat memproduksi mobil listrik Ioniq 5 secara lokal, bahkan produk Ioniq 5 saat ini memiliki tingkat komponen dalam negeri (TKDN) sebesar 40%.

“Rencana perubahan pada aturan berikutnya juga meresahkan kami,” ujarnya, Sabtu (11/5/2024).

Lihat berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel