Bisnis.com, Jakarta – Industri tekstil, produk tekstil (TPT) dan alas kaki ramai-ramai meminta pemerintah merevisi aturan pembebasan impor yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) no. 8/2024. 

Bahkan, kedua subsektor industri tersebut kini telah diberkahi dengan penerapan Larangan dan Pembatasan Impor (LARTAS) melalui Peraturan Menteri Perdagangan 36/2023 yang berlaku efektif 10 Maret 2024. 

Nandi Herdiman, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Konveksi Bandung, mengatakan pihaknya kecewa dengan keputusan pemerintah yang memberikan kemudahan impor barang jadi. Bahkan, kementerian terkait dinilai sudah menyadari penderitaan pelaku usaha kecil dan menengah (IKM) yang terpuruk akibat masuknya produk impor.

“Saya yakin UMKM di negeri ini akan mati jika peraturan menteri perdagangan ini tidak diubah,” kata Thandi di kantor Kementerian Perdagangan, Senin (3/6/2024). 

Peraturan Menteri Perdagangan no. 8/2024 tidak direvisi, sehingga bukan tidak mungkin pengangguran akan meningkat dan 70% IKM konvektif tekstil di Jabar juga bisa ditutup. Sebab, industri tekstil dan sepatu merupakan industri padat karya. 

Sebelumnya, pasca pemberlakuan Peraturan Menteri Perdagangan 36/2023 pada Maret lalu, terjadi peningkatan pesanan pengiriman tekstil. Hal ini disebabkan minimnya masuknya produk impor dan meningkatnya produktivitas industri dalam negeri. 

“Saya baru berbulan madu 2 bulan lalu, sampai sekarang menjelang lebaran. Sampai teman-teman UKM saya berani investasi, tambah mesin, stok barang,” ujarnya. 

Peraturan Menteri Perdagangan no. 8/2024 Efektif pertengahan Mei 2024, penjual online dan reseller tekstil berhenti bekerja sama dengan IKM. Dia mempertanyakan apa yang akan terjadi pada UKM dengan diterapkannya relaksasi impor barang jadi. 

Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ian Siarif mengatakan, pihaknya mendukung penuh penerapan aturan impor yang memajukan industri TPT. 

“Awalnya kami tidak mengantisipasi perubahannya dan kalau sudah bagus kenapa harus diubah? Karena sebenarnya tujuan Mendag ini adalah memisahkan importir resmi dan tidak resmi,” ujarnya. 

Berdasarkan aturan subsidi impor, industri tekstil resmi yang membayar pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak lainnya tidak bisa bersaing dan tidak bisa bersaing dengan impor barang murah. 

“Kalau terus begini berarti industri kita rugi karena bebannya besar, pegawainya, gajinya dan lain-lain. Jadi kami berharap sulit mengubah apa yang disampaikan Mendag. Harus ada perbaikan, jelasnya, jika tidak maka dampaknya adalah “PHK”. 

Sementara dengan diberlakukannya larangan impor, pesanan produk dari merek lokal meningkat, termasuk untuk kebutuhan dalam negeri dan keagenan, kata Ketua Umum Persatuan Pengusaha Industri Alas Kaki Indonesia David Chalik.

“Pasca pemberlakuan Permendag 8/2024, produksi alas kaki beralih ke China, ternyata hanya dalam hitungan detik,” kata David dalam kesempatan yang sama. 

Dampak dari liberalisasi impor adalah beralihnya pesanan produksi ke China dan mengalirnya produk impor, UKM alas kaki akan kehilangan pekerjaan karena harga yang murah, asli dan palsu. 

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel