Bisnis.com, Jakarta – Kurang dari tiga pekan menjelang pelantikan presiden dan wakil presiden baru, ada tanda-tanda tekanan perekonomian. Belakangan ini, Indonesia resmi mengalami deflasi selama lima bulan berturut-turut, yang merupakan rekor terburuk sejak tahun 1999.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan Indeks Harga Konsumen atau IHK September 2024 sebesar 105,93. Level tersebut mengalami penurunan menjadi 106,06 sejak Agustus 2024.
Laju inflasi Indonesia pada September 2024 tercatat sebesar 1,84% year-on-year (YoY). Laju inflasi tahunan justru turun menjadi 2,12% pada Agustus 2024, atau 3,05% pada Maret 2024, dari titik tertinggi tahun ini.
Namun kondisinya berbeda jika dilihat dari pergerakan bulanannya, Indonesia mengalami deflasi selama lima bulan berturut-turut sejak Mei 2024.
Pada September 2024, Indonesia mencatat deflasi sebesar 0,12% (month-to-month/MtM). Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan Agustus 2024 yang mencatat deflasi sebesar 0,03% (MtM) – meski tidak sedalam Juli 2024 yang mencatat deflasi sebesar 0,18%.
“Deflasi September 2024 terlihat lebih dalam dibandingkan Agustus 2024 sehingga merupakan deflasi bulanan kelima di tahun 2024,” kata Plt. Presiden BPS Amalia Adiningar Vidyasanti, Selasa (1/10/2024).
Kelompok pengeluaran yang memberikan sumbangan deflasi bulanan terbesar adalah kelompok makanan, minuman, dan tembakau dengan kontribusi deflasi sebesar 0,59% dan deflasi sebesar 0,17%.
Sedangkan kelompok penyumbang inflasi antara lain ikan segar dan kopi bubuk yang masing-masing menyumbang 0,02%. Faktor lain yang berkontribusi terhadap inflasi adalah biaya kuliah, serta rokok Cretech buatan mesin, atau rokok Cretech.
Amalia menjelaskan, faktor yang mempengaruhi deflasi yang terjadi saat ini adalah penurunan harga yang dipengaruhi oleh sisi penawaran.
Menurut dia, pengaruh deflasi yang paling besar adalah penurunan volatil harga tanaman pangan dan hortikultura seperti cabai merah, capsicum, tomat, daun bawang, kentang, dan wortel.
“Demikian pula produk peternakan seperti telur ayam murni, daging ayam murni, dan lain-lain yang beberapa bulan lalu naik, kini turun lagi karena sudah kembali stabil. .mungkin turun,” kata Amalia.
Tak hanya itu, karena sedang musim panen irisan dan cabai merah, persediaan melimpah. Dengan demikian, harganya juga turun.
Amalia mengaku tengah mengkaji lebih dalam kemungkinan turunnya daya beli masyarakat. Amalia menjelaskan, hanya BPS yang mencatat angka inflasi/inflasi melalui IHK.
“Penurunan daya beli tidak bisa diakhiri hanya dengan angka inflasi saja. Sehingga perlu ditelaah lebih lanjut,” ujarnya. Konflik ekonomi sebelum Prabowo menjabat
Mohammad Faisal, Direktur Eksekutif Pusat Reformasi Ekonomi Indonesia (KOR), menjelaskan deflasi berbulan-bulan hanya bisa terjadi jika kondisi perekonomian sedang tidak baik.
Menurutnya, inflasi pada bulan-bulan ketika pertumbuhan ekonomi Indonesia masih di atas 5% merupakan sebuah anomali.
Deflasi terus menerus selama lima bulan memang mengkhawatirkan karena dalam kondisi normal hal tersebut tidak akan terjadi di negara dengan pertumbuhan Indonesia sebesar 5%, kata Faisal kepada Bisnis, Selasa (1/10/2024).
Dia menjelaskan, deflasi sebenarnya disebabkan oleh lemahnya tingkat permintaan. Ia meyakini kondisi Indonesia saat ini, pendapatan masyarakat sedang melemah.
Menurut dia, pendapatan masyarakat saat ini lebih rendah dibandingkan sebelum pandemi. Selain itu, banyak pula yang tidak bisa kembali bekerja setelah terkena PHK selama pandemi.
“Hal ini berdampak pada tingkat belanja mereka sehingga belanjanya relatif lemah, terutama bagi masyarakat menengah ke bawah,” jelas Faisal.
Ia mengingatkan, mesin utama pertumbuhan ekonomi adalah kelas menengah, khususnya kelompok demografi yang menyumbang konsumsi tinggi. Sementara konsumsi dalam negeri menjadi penyumbang terbesar terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia.
Oleh karena itu, jika konsumsi kelas menengah melemah maka perekonomian tidak akan bergerak karena sektor manufaktur dan jasa melemah. Ia mendesak pemerintah bergerak cepat mengatasi pelemahan daya beli.
Artinya, kondisi ini harus kita tanggapi secara tepat, tidak hanya demonetisasi, tapi juga kebijakan stimulus di sektor keuangan dan riil, kata Faisal.
Meski demikian, Menteri Koordinator Perekonomian Erlanka Hartardo mengungkapkan meski lima bulan berturut-turut mengalami deflasi, daya beli masyarakat tidak melemah.
Airlangga beralasan daya beli masyarakat tetap kuat dengan inflasi inti yang terjaga. Menurut dia, komponen yang mengalami deflasi dalam lima bulan terakhir adalah harga pemerintah dan harga yang bergejolak, bukan inflasi inti.
“Inflasi ada unsurnya. Inflasi inti terus naik. Kalau inflasi inti naik berarti daya beli naik,” kata Airlangga di kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, Selasa (1/10/2024). Warga menghabiskan tabungannya, pertanda lesunya perekonomian
Berdasarkan data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), jumlah rekening di Indonesia yang saldonya di bawah Rp 100 juta mencapai 580,01 juta rekening. Jumlah tersebut setara dengan 98,8% dari total 586,95 juta akun yang terdaftar hingga Juli 2024.
Jumlah rekening dengan saldo di bawah Rp100 juta tumbuh sebesar 4,9% secara year-to-date (YtD) atau 11,8% secara year-on-year (YoY). Pertumbuhannya sangat tinggi dibandingkan kelompok tabungan lainnya.
Total simpanan pada kelompok rekening dengan saldo di bawah Rp100 juta tercatat sebesar Rp1.057,79 triliun. Nilai tabungan hanya naik 0,4% (YtD) atau 4,9% (YoY).
Di sisi lain, jumlah rekening masyarakat yang bersaldo di atas Rp5 miliar tercatat sebanyak 142.324 rekening pada Juli 2024, tumbuh 3,6% (YtD) atau 8,6% (YoY). Dari sisi total tabungan, pertumbuhannya pun lebih pesat, dengan total tabungan grup mencapai Rp4.671,31 triliun, tumbuh 3% (YtD) atau 10,4% (YoY).
Artinya, saldo pada kelompok rekening tingkat bawah tumbuh lebih lambat dibandingkan dengan pertambahan jumlah rekening. Sementara itu, rekening dan saldo orang-orang super kaya tumbuh dengan pesat. Mengapa?
PT Bank Central Asia Tbk. (PBCA) atau PCA mengidentifikasi fenomena “makan” pelanggan yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir. Tren ini sejalan dengan data LPS yang menunjukkan penurunan rata-rata saldo tabungan masyarakat Indonesia belakangan ini.
Direktur BCA Santoso mengatakan nasabah kelas menengah ke bawah adalah pihak yang paling terkena dampak dari fenomena tersebut.
“Kami melihat tantangan pada kelompok menengah ke bawah karena rata-rata kekayaannya relatif tidak tumbuh banyak. Bahkan di beberapa segmen, rata-ratanya rendah dalam 6 bulan terakhir,” kata Santoso.
Santoso mengatakan banyak kliennya yang berada dalam mode survival atau bertahan hidup. Menurut dia, hal tersebut akibat kondisi perekonomian yang lemah sehingga berdampak pada berkurangnya lapangan kerja yang berimplikasi pada menurunnya daya beli.
“Mungkin ada PHK (PHK). Atau dunia usaha mungkin sepi. Jadi, kenyataannya begitu,” ujarnya.
Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel