Bisnis.com, JAKARTA – Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) merekomendasikan agar Indonesia menerapkan ketentuan baru Pilar 1, Nilai B pajak internasional base erosi dan pengalihan keuntungan (BEPS). 

Ketentuan tersebut mengatur tentang penyederhanaan kebijakan transfer pricing untuk menutup celah penghindaran pajak, khususnya yang dilakukan oleh perusahaan multinasional. 

Sebelumnya, pada 19 Februari 2024, OECD juga menerbitkan laporan besaran Pilar 1 B yang mengatur penyederhanaan prinsip keadilan dan normalitas bisnis untuk kegiatan pemasaran dan distribusi dasar di negara-negara berkapasitas rendah.  

Namun laporan tersebut belum sepenuhnya selesai dan saat itu belum dapat dilaksanakan karena menunggu penambahan ketentuan administratif lainnya.  

Dalam laporan terbaru yang dipublikasikan pada Senin (17/06/2024), OECD akhirnya menambahkan ketentuan administratif yang memperjelas definisi yurisdiksi yang memenuhi syarat berdasarkan Bagian 5.2 (Pemeriksaan silang biaya operasional) dan Bagian 5.3 (Mekanisme ketersediaan data). 

Indonesia termasuk dalam daftar negara/yurisdiksi yang memenuhi persyaratan cross-checking biaya operasional.  

Pemeriksaan silang terhadap biaya operasional digunakan sebagai lindung nilai terhadap rasio laba penjualan bersih yang digunakan. Mekanisme ini mengatur penerapan ambang batas standar dan ambang batas alternatif, dengan ambang batas alternatif yang terakhir digunakan ketika pihak yang diuji berada di yurisdiksi yang memenuhi syarat.

Secara umum, Pilar 1 Jumlah B memberikan panduan yang dirancang untuk menyederhanakan penerapan aturan penetapan harga transfer sehubungan dengan kegiatan inti pemasaran dan distribusi, meringankan beban administrasi, mengurangi biaya kepatuhan dan meningkatkan kepastian pajak bagi pemeriksa administrasi dan wajib pajak.

Pasalnya, sengketa transfer pricing menjadi tantangan bagi administrasi perpajakan dan mengakibatkan rendahnya kepatuhan wajib pajak. 

OECD telah mengindikasikan bahwa kemungkinan besar otoritas negara/kehakiman akan mulai menerapkannya. 

Intinya, Indonesia memperkenalkan transfer pricing. Ketentuan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) no. 172/2023 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Normalitas dalam Transaksi yang Terkena Hubungan Istimewa. 

Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono menjelaskan, keberadaan nilai pilar B yang pertama seharusnya tidak hanya mengurangi biaya kepatuhan wajib pajak dan biaya administrasi fiskus di banyak negara. 

Dengan demikian, sumber daya otoritas pajak dapat dialokasikan pada transaksi yang lebih berisiko dan kompleks. 

Menurutnya, pemerintah yang saat ini sedang berjuang untuk masuknya Indonesia ke OECD, sebaiknya mengkaji ulang PMK no. 172/2023 karena ketentuan OECD yang lebih baru.  

“Pemerintah juga harus mengkaji ulang PMK no. 172/2023, karena tidak memasukkan perubahan pada pilar pertama – nilai B. Sebagai dasar pertimbangan [ratio legis], tinjauannya bisa berupa kepastian hukum dan kemudahan administrasi,” kata Prianto, Selasa (18/12). ). /06/2024). 

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA channel