Bisnis.com, Jakarta — Kontribusi surat berharga yang beredar terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia masih rendah dibandingkan negara lain. Berdasarkan Peta Jalan Pengembangan dan Penguatan Industri Surat Berharga Indonesia 2024-2028, kontribusi surat berharga terhadap produksi Indonesia hanya mencapai 2,6%. Jumlah ini lebih rendah dibandingkan Malaysia yang mencapai 5,1% dan Thailand yang mencapai 3,8%.

Negara lain seperti Korea Selatan dan Jepang berada di urutan teratas dengan jaminan kontribusi masing-masing sebesar 7,4% dan 7,3% PDB. Disusul Spanyol 6,7%, Taiwan 6,7%, Hongaria 4,4%, Prancis 3,9%, Portugal 3,4%, dan Chili 3,2%.

Berdasarkan peta jalan Badan Jasa Keuangan (OJK) yang dipublikasikan Jumat (6/9/2014), industri obligasi Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan. Salah satunya adalah persaingan dengan perusahaan asuransi umum, khususnya dalam hal undang-undang ekuitas untuk jaminan pinjaman atau pembiayaan. OJK memandang perlu adanya harmonisasi aturan antara asuransi umum dan industri sekuritas, sebagaimana tertuang dalam POJK 20/2023 tentang produk asuransi terkait kredit atau pembiayaan syariah.

Selain itu, terdapat perbedaan besar antara biaya premi asuransi kredit dengan biaya jasa penjaminan (IJP) perusahaan penjaminan. Pada Desember 2023, premi asuransi kredit tercatat sebesar Rp30,76 triliun, jauh lebih tinggi dibandingkan IJP yang hanya Rp7,92 triliun atau sekitar 3,88 kali lipat.

Permasalahan lain yang dihadapi perusahaan obligasi khususnya Jamcrida adalah terkait permasalahan permodalan akibat rendahnya komitmen pemerintah daerah dalam memberikan penyertaan modal. Hal ini menghambat perkembangan sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) di wilayah tersebut.

Guna memperkuat permodalan, OJK mendorong Jamkrida mengubah bentuk badan hukumnya menjadi Perusahaan Daerah (Perseroda). Di tingkat Perseroda, Jamcrida dapat memperoleh tambahan modal dari pihak swasta dengan menerbitkan saham atau obligasi. Saat ini, 33% Jamcrider dalam mode Persoda, dan sisanya masih dalam proses

Dari segi kinerja, aset perusahaan sekuritas tersebut meningkat 20,6% secara tahunan selama lima tahun terakhir hingga mencapai Rp 46,4 triliun pada tahun 2023. Pendapatan IJP pun tumbuh 31,5% secara tahunan menjadi Rp 7,9 triliun meningkat menjadi Rp 6,6 triliun pada tahun yang sama.

Aset perusahaan sekuritas didominasi oleh perusahaan biasa sebesar Rp40,88 triliun atau 88% dari total aset. Sedangkan perusahaan sekuritas syariah memiliki aset sebesar 5,53 triliun atau 12%. Begitu pula dengan pendapatan IJP, dimana perusahaan konvensional memberikan kontribusi sebesar Rp7,11 triliun (90%) dan syariah memberikan kontribusi sebesar Rp0,83 triliun (10%).

OJK juga mencatat rata-rata rasio imbal hasil perusahaan obligasi pada Desember 2023 sebesar 24 kali, yang meliputi rasio imbal hasil sebesar 18 kali untuk kegiatan produktif dan enam kali untuk kegiatan tidak produktif.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA channel