Bisnis.com, PURWAKARTA – Selama lebih dari 3 tahun, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Cirata di Jawa Barat telah berperan penting sebagai penyedia energi alternatif di Indonesia, khususnya pulau Jawa, Madura, dan Bali.

Bendungan PLTA Cirata merupakan bagian terisolasi dari Waduk Cirata, sebuah bangunan perairan seluas 200 hektar yang membelah Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Bandung Barat, dan Kabupaten Cianjur. Bendungan pembangkit listrik tenaga air, yang dibuka oleh Presiden Sohato pada tahun 1988, memiliki total kapasitas pembangkitan sebesar 1.008 megawatt (MW), menjadikannya yang terbesar di negara ini.

Manajer Operasional PLTA Cirata Prihanto Budi mengatakan, PLTA yang dikelola PT PLN Nusantara Power ini didukung oleh delapan unit pembangkit. PLTA Cirata mempunyai fungsi sentral sebagai penyangga beban maksimal.

“PLTA Cirata berada dalam sistem pembangkit listrik 500 kilovolt [kV] antara Jawa-Madura Bali. “Selain sebagai cadangan tertinggi, PLTA Cirata juga berperan sebagai penjaga kualitas listrik dalam sistem, mulai dari tegangan hingga frekuensi,” ujarnya kepada Asosiasi Pengusaha Indonesia Jelajah Tirta Nusantara 2024 di Kantor PLN NP UP Cirata. , Kabupaten Purwakarta, Senin (13/5/2024).

Prihanto menjelaskan, hal tersebut dimungkinkan berkat mesin pembangkit listrik tenaga air Cirata yang sangat bertenaga. Salah satu keunggulan PLTA Cirata adalah kendali genset otomatis (AGC).

Peralatan ini memungkinkan pengoperasian turbin PLTA Cirata dapat mengatur beban generator secara otomatis sesuai kebutuhan sistem. Semuanya bisa dilakukan dengan satu perintah dan dalam waktu singkat.

“Kami masih mendapat manfaat dalam sistem ini. Jadi, dari perintah menghidupkan genset sampai kita punya beban 126 megawatt per unit, itu hanya 6 menit. “Keunggulan kami adalah cepatnya pembangkitan listrik ke jaringan listrik,” jelasnya.

Menunjukkan

Keunggulan PLTA Cirata yang bisa bekerja sementara teruji ketika banyak wilayah Pulau Jawa mengalami masalah kebakaran total pada tahun 2019. Saat itu, banyak terjadi kebakaran di wilayah Jakarta, Banten, Pulau Jawa Barat. dan sebagian Jawa Tengah terputus karena gangguan transmisi listrik.

Sigit Haryanto, Asisten Direktur Produksi B PLTA Cirata, mengatakan timnya mampu memulihkan keadaan tersebut karena adanya black start dan kabel charger. Intinya, perangkat ini dapat menghasilkan listrik tanpa sumber eksternal.

“Jika sistem Jawa, Madura, dan Bali tumbang, hitam, tidak ada pasokan listrik sama sekali, maka PLTA Cirata akan menjadi lilin pertama yang menyalakan apinya,” ujarnya saat ditemui Kelompok Usaha Indonesia Jelajah Tirta Nusantara 2024. .Di Kawasan Pembangkit Listrik PLTA, Senin (13/5/2024).

Selain itu, pasokan listrik dari Waduk Cirata akan bertambah pasca pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) terapung terbesar di Asia Tenggara dengan kapasitas produksi 145 MW Ac atau setara 192 megawatt (MWp) pada sebelas Mei mendatang. 2023.

Manajer Operasional PLTA Cirata Prihanto Budi menjelaskan PLTS Terapung Cirata merupakan bagian dari sistem tenaga listrik 150 kV yang berbeda dengan PLTA. Meski tidak terhubung langsung, ia mengatakan kedua perusahaan energi tersebut ke depan bisa menjalin kerja sama.

“Saat ini PLTS merupakan pembangkit listrik yang tidak pernah terputus. Dengan teknologi dan sistem pembangkit yang baik, sistem tersebut juga dapat bekerjasama dengan sistem produksi pembangkit listrik tenaga air atau pembangkit dengan peralatan tanpa pengawasan,” ujarnya.

Terus berinovasi

Selain memenuhi kebutuhan listrik ketiga pulau tersebut, PLTA Cirata terus berupaya memberikan manfaat bagi masyarakat dengan melakukan berbagai pembenahan.

Menurut Prihanto, Waduk Cirata memiliki fungsi utama sebagai pengendali banjir sungai Citarum dan pengairan bagi wilayah sekitarnya. Namun kelompoknya memilih untuk memberikan dampak yang lebih besar dengan berpartisipasi dalam berbagai kolaborasi, misalnya melalui Climate Change Mechanism (TMC).

“Menjelang musim kemarau diadakan TMC. “Pelaksanaannya akan dilakukan pada akhir musim hujan dan menjelang musim hujan,” kata Prihanto.

Hal ini dilakukan untuk mengurangi dampak cuaca buruk. Lao Group juga bekerja sama dengan Badan Meteorologi, Iklim dan Geografi (BMKG) dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dalam pelaksanaan TMC.

Selain perubahan iklim dengan proyek curah hujan buatan, TMC juga mengerjakan metode tanah berbasis tanah (GBG). Metode ini menggunakan lampu atau suar untuk menyemai awan, sehingga meningkatkan jumlah hujan.

“Lokasi flare terletak di tower yang di tiga cagar alam (Cirata, Saguling dan Jatiluhur) ada enam tower untuk pemasangan GBG. Prihanto menyimpulkan, “lokasinya di sekitar sumber Citarum [mata air] .”

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel