Bisnis.com, JAKARTA – Harga gas dalam negeri dikabarkan masih lebih rendah dibandingkan negara-negara ASEAN. Namun harga tersebut belum menjadi insentif untuk mengurangi beban biaya produksi industri, apalagi meningkatkan efisiensinya.

Berdasarkan International Gas Union (IGU) edisi 2023, harga gas domestik Malaysia US$11/MMbtu, Thailand sekitar US$10-11/MMbtu, dan Vietnam sekitar US$6-7/MMbtu. Sementara harga rata-rata gas di Asia sebesar US$9,16 per MMBtu.

Komaidi Notonegoro, direktur eksekutif ReforMiner Institute, mengatakan porsi beban energi bisa mencapai 70% untuk industri padat energi seperti bahan baku petrokimia dan produksi pupuk. Hanya sedikit industri yang mengkonsumsi bahkan 20-30% energi yang digunakan dalam produksi.

Kajian Reforminer, dibandingkan beberapa negara ASEAN, harga gas di Indonesia sejauh ini relatif paling murah. Di Indonesia, harga gas formatnya tetap, rata-rata kita berada di level yang murah, kata Komaidi baru-baru ini kepada Bisnis.

Optimalisasi harga gas yang rendah, kata dia, harus diimbangi dengan skema kebijakan gas pemerintah untuk industri hulu, menengah, dan hilir sehingga manfaatnya dapat memacu pertumbuhan dan investasi.

Namun jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, ia menilai gap tersebut masih ada. Pada saat yang sama, pemerintah harus membela kepentingan seluruh industri sehingga segmen tertentu tidak hilang atau berkembang.

“Saya kira dalam menyeimbangkan negara lain berarti memperhatikan semua kepentingan, industri hulu, menengah, dan hilir juga diperhatikan, industri pengguna juga diperhatikan,” ujarnya.

Misalnya, US$6 per MMBtu ditetapkan untuk 7 subsektor industri di bawah Program Penetapan Harga Gas Alam (HGBT). Kebijakan tersebut bisa dikatakan efektif jika kinerja industri yang dibantu meningkat secara signifikan.

Jika dilihat dari pemanfaatan output pada industri-industri tersebut, cukup banyak yang mengalami penurunan utilitas, misalnya industri keramik sebesar 69%, industri petrokimia dan industri kaca sebesar 90%, serta industri sarung tangan karet sebesar 30%.

Secara lintas sektoral, pertumbuhan industri pengolahan nonmigas melambat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), industri tumbuh sebesar 4,49% pada triwulan IV 2023, turun dibandingkan 5,01% pada triwulan IV 2022.

Meski begitu, tak menampik, program harga gas murah bisa dikatakan efektif jika berkurangnya pendapatan negara diimbangi dengan pendapatan pembayaran pajak industri oleh pengguna.

Indikator utamanya adalah kinerja industri yang mendapat harga gas murah meningkat signifikan, beban pokok pendapatan juga meningkat, penerimaan pajak atau pembayaran pajak meningkat, ujarnya.

Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, dari tujuh sektor industri penerima HGBT, industri pupuk, petrokimia, baja, keramik, kaca, petrokimia, dan sarung tangan karet mampu meningkatkan penerimaan pajak sebesar Rp 27,81 triliun.

Multiplier effect dari pasokan HGBT juga menguntungkan investasi baru sebesar Rp31,06 triliun, serta penurunan subsidi pupuk sebesar Rp13,33 triliun karena penurunan harga pokok penjualan (CPG).

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel