Bisnis.com, Jakarta – Menurut Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, sebenarnya rasio kerugian semakin meningkat. Keadaan ini menunjukkan bahwa besarnya manfaat atau biaya yang dikeluarkan oleh otoritas publik melebihi pendapatan yang diperoleh dari iuran. Hal ini setelah pandemi Covid-19 berakhir.

Menurut Direktur Perencanaan dan Pengembangan BPJS Kesehatan Mahlil Rubi, rasio kerugian sudah mencapai di atas 100%. 

Pada tahun 2023 terjadi death cross yaitu mulai tahun 2023 terjadi biaya tinggi antara biaya dan nilai (kontribusi). Jadi yang kita sebut tingkat kerugiannya di atas 100%. “Ini akan berlanjut ke tingkat yang lebih tinggi,” kata Mahlil saat merilis buku tabel nyeri masyarakat Indonesia yang disimpan di Jakarta oleh BPJS Kesehatan dan Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bapenas) pada Senin (11/11/2024). . 

Menurut Mahlil, situasi tersebut dapat mengancam ketahanan Dana Jaminan Kesehatan (DJS) BPJS. Dengan kurangnya kepercayaan ini, defisit bisa terjadi karena biaya operasional melebihi pendapatan. Mahleel menambahkan, tingkat kerugian tertinggi terjadi di Divisi II dan III BPJS Kesehatan, khususnya pada kategori PBI. 

Lebih lanjut Mahlil menjelaskan, ada beberapa faktor yang menyebabkan iuran jaminan BPJS kesehatan terhenti atau tidak naik pada tahun 2021-2024. Yang pertama adalah fenomena “kebocoran”. Apa itu “kebocoran”? BPJS Kesehatan berhasil merekrut 30 juta peserta pada tahun ini, namun hanya 7 juta peserta yang dinyatakan positif. “Jadi kami merekrut yang besar dan yang kecil menghasilkan uang,” tambahnya. 

Menurut Mahlil, alasan lainnya antara lain peserta aktif yang dikelola pada Bagian III, kenaikan upah minimum pasca-Covid-19, dan pemeriksaan latar belakang. Terlebih lagi, pengaruh pemerintah negara bagian (PEMDA) sangat ekstrim dan alat reset PBPU gratis saja tidak cukup. Sementara itu, peningkatan biaya atau manfaat didorong oleh beberapa faktor, antara lain kenaikan biaya, peningkatan ketersediaan, dan semakin banyaknya fasilitas kesehatan rujukan lanjutan (FKRTL) yang memiliki banyak tren penyakit atipikal. 

“Kemudian peningkatan jumlah kasus yang merugikan, peningkatan jumlah kamar rumah sakit, penipuan, dan kunjungan ke rumah sakit disebabkan oleh orang-orang yang menderita penyakit kronis,” ujarnya. 

Mahlil mengatakan, jika tidak diambil tindakan tepat dalam kondisi seperti ini, maka akan terjadi defisit pada tahun 2025 atau 2026. Jika masalah tidak teratasi hingga Agustus 2025, bahkan bisa saja terjadi keterlambatan pembayaran. 

Oleh karena itu, kata Mahlil, ada beberapa langkah yang perlu dilakukan. Termasuk penyesuaian iuran BPJS kesehatan. Dia menyatakan, sedang dilakukan pembicaraan dengan pihak terkait terkait penyesuaian tarif. 

Kami membutuhkan dukungan dari KL [kementerian/lembaga] untuk memfasilitasi revitalisasi. “Kami juga berbagi bingkisan dari masyarakat, pemerintah negara bagian, dan badan usaha,” ujarnya. 

Strategi lain yang perlu dilakukan adalah penghapusan otomatis tunggakan biaya PBPU Mandiri, PPU Mikro, dan PBPU. 

“Ini yang terpenting, kalau kita minta mereka membayar, mereka tetap menolak membayar,” kata Mahlil.

Pemerintah negara bagian telah menekankan pentingnya bebas utang serta sumber pendanaan lain seperti hibah epidemi dan demam jarak. Beliau menekankan pentingnya pengendalian manfaat, antara lain: dengan mempertimbangkan dampak manfaat dari kebijakan baru INA Grouper, KRIS, tarif dan lainnya. 

Kami kemudian akan mengatasi bahaya moral, kebijakan pembagian biaya, penurunan tarif RJTL, pencegahan dan pengelolaan penipuan, dan peningkatan kelebihan kapasitas, yang dapat memperkuat FKTP sebagai gatekeeper. 

“Kami pada akhirnya akan melanjutkan upaya menuju jaminan kesehatan sosial yang adaptif, komprehensif dan berkelanjutan melalui kolaborasi antar pemangku kepentingan untuk mengatasi krisis lingkungan nasional dan global,” tegas Mahlil.

Lihat berita dan artikel lainnya di Google Berita dan The Watch Channel