Bisnis.com, Jakarta – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memberikan perhatian terhadap permasalahan kesehatan mental yang masih sering diabaikan di lingkungan kerja.
Direktorat Kesehatan Jiwa Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan yang diwakili Puspita Tri Utami mengatakan, kesehatan jiwa berdampak signifikan terhadap produktivitas, hubungan sosial, dan kualitas hidup seseorang. Namun, kesehatan mental terkadang diabaikan dan diremehkan.
Puspita mengatakan dalam diskusi bertajuk “Meningkatkan kesadaran akan risiko kesehatan mental di lingkungan kerja”: “Jika dibangkitkan kesadaran tentang pengurangan risiko kesehatan mental, saya yakin visi Indonesia Emas 2045 akan tercapai.” .
Diperkirakan 15% orang dewasa usia kerja hidup dengan gangguan mental, menurut data Organisasi Kesehatan Dunia tahun 2019. Secara global, diperkirakan 12 miliar hari kerja hilang karena depresi dan kecemasan setiap tahunnya, setara dengan hilangnya produktivitas sebesar $1 triliun setiap tahunnya.
Dimas Syailendra, Ketua Asosiasi Kesadaran Risiko Indonesia (Masindo), menilai masalah kesehatan mental seperti kecemasan, depresi, dan stres menimbulkan risiko yang sangat besar terhadap produktivitas masyarakat Indonesia.
“Pendekatan pengurangan risiko yang komprehensif, termasuk intervensi kebijakan, pendidikan dan dukungan psikologis, sangat dibutuhkan,” kata Dimas.
Sementara itu, pakar kesehatan masyarakat dan keselamatan kerja (K3) Felosofa Fitriya menekankan pentingnya mengidentifikasi dan mengelola faktor risiko gangguan jiwa di tempat kerja, seperti tekanan kerja yang berlebihan, ambiguitas peran, dan kurangnya dukungan manajemen.
“Perusahaan juga harus aktif mendukung kesehatan mental karyawannya dengan memberikan layanan kesehatan mental dan bentuk kesadaran risiko serta pendidikan pengurangan risiko yang tepat,” ujarnya.
Psikolog Sukmayanti Rafisukmawan dalam kesempatan yang sama mengatakan, salah satu kebiasaan berbahaya yang muncul akibat stres dan tekanan di lingkungan kerja dapat dikelola melalui metode modifikasi perilaku kognitif (CBM).
Ia berpendapat bahwa masyarakat sebaiknya berusaha membatasi kebiasaan buruk berbahaya tersebut terlebih dahulu, daripada menghentikannya secara tiba-tiba (tiba-tiba berhenti). Sebagai solusinya, kebiasaan-kebiasaan berbahaya yang timbul akibat stres di tempat kerja dapat dikurangi secara bertahap (desensitized).
“Tentu saja akan lebih baik jika dihentikan saja. Namun, jika pendekatan ini tidak berhasil, konsep pengurangan risiko mungkin bisa menjadi salah satu cara untuk mengatasi kebiasaan mengambil risiko,” ujarnya.
Oleh karena itu, perokok yang kesulitan berhenti merokok beralih ke terapi pengganti nikotin dan alternatif produk tembakau, seperti rokok elektrik, produk tembakau yang dipanaskan, dan kantong nikotin, yang menerapkan konsep pengurangan risiko sambil mendapatkan konsultasi profesional. psikolog.
Lihat berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel