Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengharapkan program biodiesel B40, campuran solar dan karet dasar (BBN) 40%, bisa dilaksanakan pada tahun 2025.

Namun potensi dana tersebut untuk bahan bakar biodiesel dan pasokan minyak sawit mentah (CPO) setelah dikaji ulang adalah rencana untuk meningkatkan persentase campuran minyak sawit tersebut.

“Kita sudah menerapkan sistem biodiesel sebesar 35% yang merupakan persentase pencampuran biofuel tertinggi di sektor transportasi, kita ingin meningkatkannya, mungkin tahun ini atau tahun depan kita ingin mencapai [biodiesel] 40%,” kata dia. Direktur Jenderal Kementerian. Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Eniya Listiani Dewi, di Jakarta Futures Forum, Jakarta, Jumat (3/5/2024).

Saat dikukuhkan kembali, Eniya mengatakan kementeriannya dan industri di wilayah utara siap menjalankan program Biodiesel B40 di sektor kendaraan secara terbatas kali ini.

Saat ini sektor non otomotif seperti perkapalan, pertanian, pertambangan, dan perkeretaapian masih dalam tahap uji jalan hingga Desember 2024.

“Kalau mau implementasi mobil dulu ya bisa, tapi harus disetujui dulu, soal motivasi, ini pasokan yang harus dibicarakan lagi,” kata Eniya.

Namun, dia mengatakan penerapan B40 akan aman dari segi bahan bakunya. Ia memperkirakan sekitar 4 juta ton CPO akan tersisa jika pemerintah memutuskan menggunakan sistem B40 dalam waktu dekat.

Tadi saya bicara dengan Dinas Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), pabriknya baik-baik saja tanpa pembukaan lahan, sekarang jumlahnya lebih dari B40. Kapasitas produksi kita saat ini kalau mau tercapai sekitar 4 juta ton. . tetap karena masih banyak peluang,” ujarnya.

Kementerian ESDM memperkirakan jumlah minimal minyak sawit murni untuk mendukung proses Biodiesel B40 adalah sekitar 17,57 juta kilo.

Angka tersebut berdasarkan asumsi kebutuhan solar pada tahun 2024 sebesar 38,04 juta kiloliter.

Kini, dengan asumsi produk domestik bruto (PDB) naik 5%, maka penyediaan B40 membutuhkan stok CPO nasional sekitar 17,57 juta kg atau 15,29 juta ton CPO.

Awalnya, BPPKS memperkirakan kebutuhan Biodiesel B35 pada tahun ini mencapai Rp 28,5 juta.

Angka tersebut meningkat menjadi 55,56% dari pemberian insentif pencampuran solar dan 35% BBN berbahan dasar sawit pada tahun sebelumnya yang mencapai Rp18,32 juta. Saat itu, manajemen sawit mampu memungut bea ekspor sebesar Rp32,29 juta.

Target pungutan ekspor [PE] tahun 2024 sebesar Rp 27,3 triliun dan perkiraan kebutuhan insentif biodiesel pada tahun 2024 sebesar Rp 28,5 triliun, kata Manajer Divisi Perusahaan BPPKS Achmad Maulizal Sutawijaya saat dihubungi, Minggu (28/4/2024).

Sedangkan realisasi pembayaran insentif biodiesel pada triwulan I 2024 mencapai Rp1,39 juta.

Sebagian besar permintaan biodiesel B35 didorong oleh perbedaan alami antara harga indeks pasar (HIP) Biodiesel merek BBN dan HIP bahan bakar Diesel generik.

BPPKS memperkirakan rata-rata selisih HIP Biodiesel dan HIP Diesel sebesar Rp 2.516 per liter. Angka tersebut belum termasuk biaya pengiriman dan pajak pertambahan nilai (PPN).

Faktor yang mempengaruhi antara lain harga minyak dunia dan harga ekspor CPO, jelasnya.

Seperti diketahui, selisih harga Biodiesel dan Solar pada bulan Januari, Februari, dan Maret 2023 masing-masing sebesar Rp 715 liter, Rp 471 liter, dan Rp 1.626 liter.

Sedangkan selisih harga kedua produk pada periode yang sama tahun ini berada pada level Rp 1.382 liter, Rp 1.724 liter, dan Rp 1.251 liter.

Sementara jumlah pasokan biodiesel B35 pada triwulan I 2024 mencapai 2,86 juta kiloliter atau 21,37% dari saat ini sebanyak 13,41 juta kiloliter.

Sementara itu, capaian penyaluran biodiesel B35 pada periode yang sama tahun lalu mencapai 2,55 juta kiloliter.

Lihat berita dan cerita lainnya di Google Berita dan Saluran WA