Bisnis.com, JAKARTA – Industri asuransi Indonesia terus menghadapi tantangan besar dengan beberapa perusahaan menghadapi permasalahan seperti PT Asuransi Adisarana Wanaartha atau Wanaartha Life (dalam likuidasi), PT Asuransi Jiwa Kresna (Kresna Life), hingga PT Asuransi Jiwasraya (Persero) , Asuransi Bumiputera Jiwa Bersama (AJB).
Kasus-kasus tersebut menarik perhatian publik, terutama setelah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengambil tindakan tegas, termasuk pemberian sanksi dan peninjauan kembali rencana penyelamatan. Pengamat asuransi Mike Rini pun memberikan pendapatnya mengenai langkah dan solusi regulator untuk mencegah terulangnya masalah serupa di kemudian hari.
Menurut Mike, kasus-kasus tersebut mencerminkan permasalahan yang mendalam pada industri asuransi Indonesia, khususnya terkait dengan manajemen risiko dan praktik investasi yang tidak prudensial.
“Jiwasraya dan Bumiputera menghadapi permasalahan likuiditas dan solvabilitas yang cukup serius yang berakar pada buruknya manajemen risiko,” kata Mike kepada Bisnis, Minggu (11/10/2024).
Dalam kasus Jiwasraya, Mike mengungkapkan sanksi Pembatasan Kegiatan Usaha (PKU) yang diberlakukan OJK menunjukkan besarnya permasalahan yang dihadapi perseroan. OJK juga menunggu Keputusan Pemerintah (PP) untuk membubarkannya, yang semakin menunjukkan seriusnya situasi Jiwasraya. Meski penurunan kasus Bumiputera tidak separah Jiwasraya, Mike mengungkapkan permasalahan yang ada masih cukup serius.
“Meski OJK meminta perusahaan mengkaji RPK [Rencana Rehabilitasi Keuangan], namun pelaksanaannya masih jauh dari yang diharapkan. Pembayaran klaim hanya mencapai Rp319 miliar dari Rp2,8 triliun di akhir tahun, menunjukkan AJB Bumiputera adalah masih berjuang menyelesaikan masalah keuangan mereka,” tambahnya.
Mike menilai meski tindakan OJK cukup tegas, namun implementasinya masih kurang optimal. Dalam kasus AJB Bumiputera, dia menilai pengawasan dan intervensi OJK masih perlu ditingkatkan.
Tuntutan yang jauh dari target membuktikan OJK harus memantau proses penyelamatan perusahaan lebih intensif. “Pembayaran kompensasi yang lebih cepat dan efisien harus menjadi prioritas agar perusahaan dapat segera mengatasi permasalahan keuangannya,” ujarnya.
Terkait langkah apa yang harus dilakukan OJK agar kasus serupa tidak terulang kembali, Mike Rini menyarankan beberapa langkah penting. Pertama, OJK harus memperketat pengaturan dan pengawasan terhadap perusahaan asuransi, terutama dalam hal manajemen risiko dan praktik investasi.
Setelah itu, transparansi yang lebih besar mengenai pelaporan keuangan dan operasional perusahaan asuransi juga harus didorong. Selain itu, Mike menekankan pentingnya sistem peringatan dini yang lebih efektif yang dapat mendeteksi permasalahan perusahaan asuransi sebelum berkembang menjadi krisis.
“OJK harus mewajibkan audit independen secara berkala terhadap seluruh perusahaan asuransi. Selain itu, perlu adanya sanksi yang lebih tegas dan cepat terhadap perusahaan yang melanggar aturan, ujarnya.
Reformasi tata kelola perusahaan juga sangat penting untuk mencegah terulangnya permasalahan serupa. “Menunjuk direktur dan komisaris yang kompeten dan berintegritas serta menerapkan strategi diversifikasi risiko investasi yang lebih baik harus menjadi prioritas dalam industri asuransi,” kata Mike.
Selain langkah di atas, Mike juga menyoroti pentingnya meningkatkan literasi keuangan masyarakat, khususnya di bidang asuransi. “Masyarakat perlu lebih memahami manfaat dan risiko produk asuransi. Dengan begitu, mereka dapat mengambil keputusan yang lebih bijak dalam memilih produk asuransi yang tepat untuk kebutuhannya,” ujarnya.
Menurutnya, dengan pemahaman yang lebih baik mengenai asuransi, masyarakat akan lebih sadar akan hak asuransinya dan dapat lebih cepat menangani potensi kerusakan. “Ini adalah aspek yang sangat penting untuk menciptakan industri asuransi yang lebih sehat dan andal,” ujarnya.
Lihat berita dan artikel lainnya dari Google News dan WA Channel