Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tengah merancang strategi penerbitan Surat Utang Negara (SBN) dalam mata uang asing (valas). Hal ini sebagai upaya menarik investor asing ke pasar obligasi Indonesia.

Direktur Jenderal Manajemen Risiko dan Pembiayaan Kementerian Keuangan Suminto mengatakan, strategi penerbitan SBN untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan utang dilakukan secara fleksibel dan oportunistik untuk memperoleh cost of fund yang paling efektif, baik dari segi instrumen, syarat, suku bunga, dan mata uang.

Lebih lanjut dia mengatakan, pemerintah memastikan kondisi pasar mendukung biaya pembiayaan yang rendah. Oleh karena itu, pemerintah sangat menantikan upaya penggalangan dana selanjutnya melalui mata uang bernama SBN.

“Dalam hal kondisi pasar menguntungkan dan dapat diperoleh biaya bunga atau biaya pendanaan yang efektif, kami terbuka terhadap penerbitan SBN valas,” kata Suminto kepada Bisnis, seperti dikutip Selasa (21/5/2024). .

Ia juga mengatakan, penerbitan SBN hingga akhir tahun 2024 sejalan dengan kebutuhan untuk membiayai defisit APBN tahun 2024.

“Namun dalam hal momen penerbitan, komposisi instrumen, jangka waktu dan mata uang, kami fleksibel dan oportunistik sesuai dengan kondisi pasar, perkembangan kebutuhan pembiayaan dan posisi moneter Pemerintah”, tutupnya.

Sebelumnya, DJPPR Kementerian Keuangan juga menerbitkan Samurai Bond senilai 200 miliar yen atau setara Rp 20,51 triliun (kurs Rp 102,57 per yen Jepang) pada Jumat (17/05/2024), yang ditujukan untuk membiayai tahun 2024. APBN. .

Pendapatan dari penerbitan Obligasi Biru digunakan untuk membiayai proyek-proyek yang termasuk dalam kualifikasi pengeluaran sektor biru atau terkait kelautan sejalan dengan Kerangka SDG.

Sedangkan penerbitan Samurai Bonds senilai 200 miliar yen memiliki jangka waktu 3 tahun, 5 tahun, 7 tahun, 10 tahun, dan 20 tahun, dengan tingkat bunga bervariasi antara 0,99% hingga 2,55%. Transaksi ini merupakan penerbitan Samurai Bonds selama 10 tahun berturut-turut yang dimulai pada tahun 2015.

Sementara berdasarkan data DJPPR Kementerian Keuangan hingga 17 Mei 2024, kepemilikan asing masih mencatatkan aktivitas penjualan bersih sebesar Rp39,5 miliar sehingga total kepemilikannya mencapai Rp802,55 miliar atau 14,04% dari total.

Sedangkan partisipasi investor dalam negeri dipimpin oleh Bank Indonesia (BI) dengan total Rp1.320,02 triliun atau 23,1% atau melampaui saham perbankan dengan porsi pembelian bersih Rp224,51 triliun.

Di sisi lain, perbankan mencatatkan aksi jual sebesar Rp224,9 triliun sehingga meningkatkan kepemilikan saham menjadi Rp1.270,49 triliun atau 22,23% dari total. Begitu pula reksa dana yang mencatatkan arus keluar sebesar Rp 3,33 miliar sehingga kepemilikannya mencapai Rp 174,47 miliar atau 3,05% dari total. 

Modal investasi asing terjadi berdasarkan tingkat suku bunga

Di sisi lain, aliran modal asing ke pasar obligasi Indonesia masih terkendala ketidakpastian kebijakan suku bunga Bank Sentral AS atau Federal Reserve (FED).

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan prospek pasar obligasi hingga sisa tahun ini masih sangat bergantung pada sentimen global, seiring dengan ketidakpastian global mengenai arah suku bunga The Fed. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika pasar masih didominasi oleh investor nasional.

“Sisi eksternal masih menjadi risiko utama permintaan surat berharga domestik, tercermin dari net outflow yang terjadi dalam 3 bulan terakhir. Ketidakpastian global diperkirakan masih akan berlanjut hingga paruh kedua tahun 2024,” kata Josua kepada Bisnis, Senin (20/05/2024).

Menurut dia, penerbitan obligasi pada tahun ini cenderung terkendala oleh perubahan ekspektasi suku bunga pelaku pasar, dari sebelumnya ekspektasi penurunan suku bunga hingga 125 basis poin menjadi hanya 25-50 basis poin pada 2024.

Perubahan ekspektasi ini membuat investor lebih berhati-hati dalam berinvestasi di pasar obligasi nasional. Sentimen tersebut diperkirakan mulai berkurang seiring dengan mulai melambatnya indikator perekonomian AS dan mulai adanya sinyal penurunan suku bunga oleh The Fed.

Namun pada tahun depan, menurutnya, permintaan obligasi cenderung meningkat pada awal tahun 2025, seiring dengan proyeksi The Fed dan BI yang mulai menurunkan suku bunga mulai awal tahun 2025. Sejauh ini, suku bunga The Fed masih terus meningkat. kisaran 5,25% – 5,5%

Senada, Head of Investment Specialist Sinarmas AM Domingus Sinarta Ginting menambahkan, pasar masih menunggu data perekonomian Amerika Serikat dan juga sikap The Fed yang menimbulkan volatilitas cukup tinggi dalam dua bulan terakhir.

“Namun dari data inflasi terkini yang terlihat mulai menurun, ada kemungkinan The Fed akan menurunkan suku bunganya di akhir tahun. Artinya, prospek akhir tahun masih positif”, dia menyatakan. Minggu. kepada Bisnis

Menurut dia, penggalangan dana di pasar surat berharga, baik surat berharga publik (SBN) maupun korporasi, akan relatif lambat sepanjang tahun 2024. Di pasar SBN, hubungan antara supply dan coverage pada lelang terakhir berada di bawah rata-rata dan penerbitan obligasi relatif kurang. tinggi secara tahunan (year on year/year).

Sentimen yang mempengaruhi pasar minat beli obligasi masih berkisar pada suku bunga The Fed dan juga stabilitas rupee, pungkas Domingus.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel