Business.com, Jakarta – Pelaku fintech di industri P2P lending alias pinjaman online (Pinjol) optimistis dengan prospek bisnis P2P meski menghadapi sejumlah kendala, mulai dari tata kelola perusahaan, kepercayaan kreditur. Kredit buruk untuk literasi keuangan yang buruk (TWP90).
Masalah kredit macet misalnya, 22 dari 97 perusahaan yang dipantau mempunyai kekhawatiran terhadap kredit macet yaitu lebih dari 5%. Namun jika seluruh aset industri digabungkan maka kredit macet akan turun menjadi 2,38% pada September 2024.
Asosiasi Fintech Reksa Dana Indonesia (AFPI) TR Karbala mengatakan meski banyak tantangan, namun pertumbuhan fintech lending sangat optimis. Menurutnya, fintech P2P lending akan berperan penting dalam menjangkau segmen masyarakat yang masih unbanked.
Dari sisi tata kelola, Tire mengatakan inovasi teknologi menjadikan proses pembiayaan lebih efisien dan terjangkau serta memungkinkan fintech lending berperan penting dalam mendorong pertumbuhan UMKM dengan memberikan akses pembiayaan yang lebih mudah dan cepat.
“Kualitas kredit yang terdampak stabilitas keuangan global mungkin akan berdampak pada industri. Menjaga kepercayaan konsumen terhadap layanan fintech lending menjadi tantangan bagi industri,” ujarnya, Selasa (11/12/2024).
Optimisme juga diungkapkan penyedia P2P lending, Country Head Modalku Modalku Indonesia Arthur Adisusanto mengatakan, berdasarkan studi yang dilakukan AFPI dan EY Parthenon, financing gap pada sektor manufaktur diperkirakan sebesar Rp 2.400 triliun pada tahun 2026.
Menurut Arthur, kesenjangan ini akan menjadi peluang yang menjanjikan bagi pertumbuhan P2P lending di masa depan. Menyambut peluang ini, Arthur memperkirakan dukungan regulasi dari Otoritas Jasa Keuangan akan menjadi faktor penting yang memperkuat landasan perkembangan industri fintech P2P lending.
Namun tantangan seperti risiko kredit juga harus diantisipasi sehingga harus disusun strategi mitigasi yang efektif agar industri ini dapat tumbuh dengan sehat, kata Arthur.
Sementara itu, Tony Jackson, CEO PT Teknologi Merlin Sejahera (UKU), juga melihat masih ada ruang untuk pertumbuhan bisnis P2P lending di Indonesia.
Untuk memitigasi tantangan yang ada, Tony mengatakan UKU akan fokus pada pengelolaan risiko melalui analisis big data dan komunikasi aktif dengan nasabah, menciptakan kesadaran tentang pengelolaan keuangan yang lebih baik dan pembayaran tepat waktu.
“Kami selalu melihat peluang, meskipun kami menghadapi tantangan dalam mengelola risiko dan perlunya inovasi produk dan layanan untuk memenuhi kebutuhan pelanggan,” kata Tony.
Perusahaan P2P lending lainnya, PT Akseleran Financial Inklusif Indonesia atau Akseleran menargetkan penyaluran pinjaman mencapai Rp3,11 miliar pada akhir tahun 2024, atau meningkat 10% dibandingkan tahun lalu.
CEO dan salah satu pendiri Acceleron Group Evan Nicholas mengatakan seharusnya target tersebut lebih tinggi, namun target tersebut dipangkas karena penurunan BI rate dan faktor permintaan pinjaman yang tidak setinggi perkiraan awal.
Meski begitu, Evan optimistis masa depan P2P lending cerah. Namun Ivan berharap OJK mendapat dukungan regulasi untuk menaikkan dana Rp 10 miliar untuk sektor manufaktur.
“Ini yang kita tunggu. Ada perubahan batas atas maksimal jumlah pinjaman menjadi pinjaman produktif. Kalau ini tujuannya, di satu sisi usaha menengah akan sangat terbantu. Di sisi lain, kita juga akan sangat terbantu. .volume bisa meningkat, pendapatan meningkat, keuntungan juga sehat,” kata Ivan.
Mendapat masukan dari P2P lending, OJK Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Keuangan Digital, dan Agen Pengawasan Aset Kripto Hasan Fauzi menegaskan, OJK selalu mengedepankan bidang-bidang pengembangan dan penguatan industri P2P lending dalam pengembangan regulasi.
“Regulasi kita jangan terlalu mengandalkan atau menekankan pengawasan dan pengendalian, tapi memberikan ruang untuk pengembangan dan penguatan. Ini jelas salah. Jadi tolong beri mereka suara agar penguatan dan pengembangan bisa terjadi.” bagian dari peraturan yang diterbitkan OJK, kata Hassan.
Di sektor industri, terjadi pertumbuhan besar dalam penyaluran P2P lending sejak tahun 2017. AFPI mencatat, sejak industri P2P lending mulai beroperasi di Indonesia pada tahun 2017, telah memberikan pinjaman senilai Rp 950 triliun dengan total 135 juta peminjam. .
Sedangkan pada tahun 2024, pada bulan September 2024, outstanding pinjaman P2P mencapai Rp74,48 triliun atau meningkat 33,73% year-on-year dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Dari sisi kualitas pinjaman, industri TWP90 aman di angka 2,38%, bahkan membaik dari 2,82% per tahun.
Namun, jika dipilah, sejumlah tantangan masih ada. Misalnya, dari pemain dengan catatan kredit macet yang tinggi Pada bulan September 2024, 22 pemberi pinjaman P2P mencatat kredit macet lebih dari 5% (TWP90). Angka tersebut setara dengan 22,68% dari total 97 penyelenggara P2P lending yang saat ini terdaftar di OJK.
Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel