Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) optimistis industri manufaktur atau pengolahan nonmigas akan pulih meski menghadapi pelemahan dalam beberapa bulan terakhir. 

Lemahnya industri ini terlihat dari Purchasing Managers’ Index (PMI) sektor manufaktur Indonesia pada Juli 2024 yang berada di angka 49,3 atau turun dalam fase kontraksi. Bahkan, selama 34 bulan berturut-turut sektor manufaktur Indonesia mampu mempertahankan tingkat ekspansinya. 

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan kinerja industri manufaktur dalam negeri bisa bangkit kembali jika didukung kebijakan yang pro dunia usaha. 

Pak Presiden Joko Widodo dalam rapat Kabinet pagi ini juga menyatakan bahwa kita harus berhati-hati dengan kontraksi PMI manufaktur, karena beberapa negara di Asia juga mengalaminya dan komponen yang mengalami penurunan terbesar adalah produksi. samping,” kata Agus. dalam keterangan resminya, Senin (12/8/2024). 

Sementara itu, Presiden Jokowi menyampaikan hal tersebut dalam pengantar rapat kabinet pertama yang digelar di Ibu Kota Negara Indonesia (IKN) pagi ini. Presiden ketujuh RI ini juga mengatakan situasi manufaktur di beberapa negara juga melambat. 

Terkait hal tersebut, kata Jokowi, tingginya beban impor bahan baku akibat fluktuasi nilai tukar rupiah atau serangan terhadap produk impor yang masuk ke dalam negeri dapat berdampak pada melemahnya permintaan dalam negeri. 

“Beliau menekankan penggunaan bahan baku lokal serta perlindungan industri dalam negeri, serta harus bisa mencari pasar nontradisional dan pasar baru yang berpotensi menjadi tujuan ekspor produk Indonesia,” kata Agus. 

Tak hanya PMI Manufaktur, Indeks Keyakinan Industri (ICI) Juli 2024 juga turun menjadi 52,4 dari ICI Juni 2024 sebesar 52,5. Meredamnya nilai IKI pada bulan Juli dipengaruhi oleh turunnya nilai variabel pesanan baru dan berlanjutnya kontraksi pada variabel produksi. 

“Hal ini menunjukkan semakin menurunnya kepercayaan atau tingkat kepercayaan para pelaku industri. Salah satu penyebabnya adalah belum adanya kepastian hukum yang jelas,” imbuhnya.

Oleh karena itu, kebijakan yang pro dunia usaha harus diterapkan, seperti ketersediaan bahan baku produksi, keberlanjutan dan perluasan harga gas industri yang kompetitif, dan ketatnya substitusi impor. 

“Kebijakan ini bisa terlaksana dengan baik jika koordinasi dilaksanakan sesuai aturan. Semua pihak juga konsisten dan transparan untuk benar-benar membela industri dalam negeri,” ujarnya.

Meski produktivitas industri melemah, industri pengolahan disebut tetap konsisten memberikan kontribusi terbesar terhadap perekonomian nasional dengan pertumbuhan year-on-year sebesar 18,52% pada kuartal II-2024. 

Oleh karena itu, industri pengolahan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi terbesar pada kuartal II, tepatnya 0,79% year-on-year. Di sisi lain, pertumbuhan industri pengolahan hasil selain migas mencapai 4,63% year on year. 

“Sedikit di bawah pertumbuhan triwulan I 2024 yaitu 4,64%,” ujarnya. 

Sementara itu, pertumbuhan industri pengolahan nonmigas didorong oleh permintaan dalam dan luar negeri. Misalnya saja industri makanan dan minuman yang tumbuh 5,53% ditopang oleh permintaan domestik yang lebih besar.

Kemudian, industri logam dasar tumbuh 18,07% didorong oleh meningkatnya permintaan eksternal seperti produk baja dan konsumsi baja dalam negeri. 

Selain itu, industri kimia, farmasi, dan obat tradisional tumbuh sebesar 8,01% seiring dengan meningkatnya permintaan dalam dan luar negeri.

“Di tengah kinerja sektor-sektor tersebut yang sangat baik, industri tekstil dan pakaian jadi justru mengalami kontraksi sebesar 0,03% year-on-year. Hal ini disebabkan oleh penurunan produksi tekstil seiring dengan meningkatnya produk tekstil impor yang membanjiri pasar dalam negeri” . dikatakan. 

Selain itu, industri kulit, barang dari kulit, dan alas kaki juga tumbuh lambat yakni 1,93% year-on-year. Hal ini disebabkan oleh penurunan produksi sepatu menyusul penutupan beberapa pabrik akibat penurunan permintaan dalam dan luar negeri. Penurunan terjadi di Provinsi Banten, Jawa Barat, dan DI Yogyakarta.

“Selain situasi perekonomian global yang belum stabil saat ini, aktivitas industri tanah air juga terdampak oleh regulasi yang tidak berpihak pada pelaku industri. Oleh karena itu, diperlukan koordinasi yang serius dan benar-benar tepat sasaran,” tutupnya.

Lihat berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel