Bisnis.com, Jakarta – Pemerintah memperkirakan nilai belanja pajak (tax keringanan) sebesar Rp 445,5 triliun pada tahun 2025 atau tahun pertama pemerintahan Presiden terpilih Prabowo Svyant. Namun perlakuan istimewa pajak jumbo ini dinilai tidak akan efektif tanpa adanya kepastian hukum.
Wahiyu Nuriant, Direktur Eksekutif MUC Tax Research Institute, menilai kebijakan perpajakan preferensial selama ini sangat menarik. Perkiraan belanja pajak tahun ini sebesar 399,9 triliun rupiah.
Meski demikian, Wahiyu secara umum menilai dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi tidak terlalu besar. Perlakuan pajak istimewa yang diberikan kepada sektor-sektor yang dapat menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru belum banyak dimanfaatkan.
Menurut dia, besaran insentif tidak menjadi masalah. Oleh karena itu, terdapat permasalahan administratif seperti ketidakpastian hukum.
“Mungkin penyebabnya masih ada keraguan investor, yakni persoalan kepastian hukum atas fasilitas insentif yang ditawarkan,” jelas Pak Wahiyu kepada Bisnis, Kamis.
Apalagi, dalam Nota Keuangan RAPBN 2025 Jilid 2, diperhitungkan sejumlah insentif perpajakan, terhadap Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) yang diperkirakan berjumlah Rp 265,6 triliun, kemudian terhadap pajak pendapatan. (PPh) yakni Rp 144,7 triliun.
Mengingat PPN dan PPnBM merupakan jenis pajak yang dipungut atas transaksi barang dan jasa, Wahyu menilai alokasi tersebut sangat tepat. Jika tujuan pemerintah adalah meningkatkan daya beli masyarakat, maka penguatan PPN dan PPnBM adalah langkah yang tepat.
“Masalahnya saya melihat perlunya mempertimbangkan kegiatan dan sektor perekonomian yang mempunyai dampak lebih besar ketika memberikan insentif,” ujarnya.
Dia mengatakan, data belanja pajak yang dirilis BKF Kementerian Keuangan tahun 2022 memperkirakan sebagian besar belanja pajak tahun depan akan ditanggung oleh badan usaha UMKM senilai Rp 61 triliun dan pengiriman barang kebutuhan pokok senilai Rp 52 triliun. Dia menjelaskan bahwa ada.
Jumlah tersebut, lanjutnya, jauh lebih tinggi dibandingkan insentif PPN dan PPnBM sektor konstruksi yang hanya sebesar Rp 368 miliar, meski multiplier effect terhadap perekonomian lebih besar. Ia menyimpulkan terdapat ketimpangan yang besar antara insentif untuk menjaga daya beli dengan insentif terhadap sektor-sektor yang memiliki efek multiplier.
Namun perlu diingat, hal ini bukan berarti insentif bagi UMKM dan sembako akan dikurangi, melainkan insentif yang mendorong pertumbuhan ekonomi akan lebih optimal, tutupnya.
Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel