Bisnis.com, JAKARTA- Fenomena pengeluaran terkutuk bisa membuat seseorang terlilit utang dengan sistem paylater.

Ghita Argasasmita, seorang pendidik dan perencana keuangan, mengatakan fenomena belanja rasa bersalah baru muncul belakangan ini. Hal ini disebabkan oleh kondisi perekonomian dimana terjadi inflasi yang tinggi sehingga menyebabkan harga-harga, termasuk properti, meningkat pesat dan sulit untuk dipertanggungjawabkan kebenarannya.

“Dalam beberapa tahun terakhir, terjadi perdebatan apakah akan membeli rumah atau menyewa, karena masyarakat menyadari bahwa membeli properti saat ini tidak masuk akal. Ini latar belakangnya,” Bisniscom di saluran YouTube Broadcash.

Ia juga menjelaskan, kebiasaan menginap di asrama atau menginap di hotel bisa menjadi pengeluaran entah tidaknya, semua tergantung motivasi melakukannya.

“Bisa iya bisa tidak. Itu tergantung motivasinya. Namun kenyataannya, kebanyakan orang tidak menyadari motivasi tersebut. Itu tidak ada tujuannya. Cobalah untuk memiliki tujuan. “Tentu saja konsumsinya bisa dibatasi, termasuk pada malam hari atau sejenisnya, untuk menghemat uang,” ujarnya.

Lagi pula, katanya, jika Anda tidak ingin memiliki properti di masa depan, maka gaji Anda akan dialihkan untuk konsumsi demi kesenangan Anda, sehingga mendorong kebiasaan membayar di kemudian hari. Sebab, kebiasaan bersenang-senang terus dibentuk dan selalu diikuti.

Ia juga melihat bahwa banyak kelas menengah di Indonesia tidak menyadari situasi perekonomian yang sebenarnya, dimana deflasi dan PHK yang meluas kini mengurangi daya beli.

Karena tidak ingin mengikuti perkembangan perekonomian, banyak orang yang masih memiliki gaji menjadi ceroboh dan terus menghabiskan gajinya untuk hal-hal menyenangkan tanpa merencanakan kekayaan di masa depan.

“Karena mereka belum tahu, mereka tidak memperhatikan. “Bahkan tidak menutup kemungkinan saya akan terkena PHK di kemudian hari, sehingga saya harus menyiapkan dana darurat dalam anggaran saya,” jelasnya.

Pada saat yang sama, lanjutnya, para produsen barang dan jasa lapis ketiga memanfaatkan ketidaktahuan sebagian masyarakat akan lesunya situasi perekonomian dan terus “meracuni” mereka dengan berbagai gratifikasi instan.  Konsumen memenuhi dirinya dengan segala macam rangkaian produk yang menjanjikan kenikmatan tertentu, dan tidak berpikir sejenak pun tentang penundaan kenikmatan tersebut.

“Jadi psikologi berperan, terutama bagi orang-orang yang masih punya gaji.” “Mungkin banyak masyarakat yang tidak punya akses terhadap berita-berita ekonomi, tidak mau mendalami ilmu keuangan, sehingga asyik saja mereka terjun ke kehidupan seperti itu,” jelasnya. Tanda-Tanda Anda Terjebak dalam Binge Shopping

Ia kemudian menjelaskan beberapa tanda seseorang memiliki kebiasaan mengeluarkan uang untuk hal-hal kecil tanpa ada niat mendatangkan kekayaan di masa depan. Yang pertama, tentu saja, tidak mempunyai tujuan sebenarnya.

 “Tanyakan pada diri Anda apakah ada tujuan realistis untuk memiliki properti tersebut. Masalahnya adalah kebanyakan orang yang membuat Anda kecewa memiliki keinginan yang tidak realistis. Misalnya saja Anda ingin segera memiliki rumah di kawasan Jakarta Selatan. Tujuannya tidak bertahap, tapi harus besar sekaligus. “Jujur masyarakat mau berproses,” ucapnya.

Faktor kedua adalah keengganan menabung. Menyisihkan gaji untuk ditabung sering kali menimbulkan perselisihan karena Anda merasa ada hal lain yang ingin dibelanjakan. Tentu saja hal ini memerlukan pengaturan dan pengendalian yang ketat melalui sistem penganggaran, artinya 50 persen gaji dialokasikan untuk kebutuhan pokok seperti makanan dan minuman, untuk membayar tagihan sehari-hari.

Selain itu, 20 persen lainnya digunakan untuk mencicil utang jika memiliki pinjaman. 20 persen sisanya akan digunakan untuk tabungan, dan 10 persennya, tentu saja, akan digunakan untuk hiburan.

“Kalau ada keperluan mendadak di tengah jalan, misalnya untuk bersenang-senang, sudah ada kuotanya. Jika itu tidak cukup, simpan saja. Penghematan 20 persen itu bagus, tapi Anda harus tahu bahwa Anda harus bisa menunda gratifikasi atau menunda gratifikasi. Anda perlu berlatih menunda kepuasan.

Agar tidak terjerumus ke dalam jebakan belanja yang membawa malapetaka, Ghita menyarankan untuk mengajari diri Anda sendiri dalam menjalani setiap proses kehidupan. Tentu saja hal ini erat kaitannya dengan faktor psikologis.

Langkah selanjutnya adalah membatasi akses media sosial. Pertanyaan terbaik untuk selalu ditanyakan pada diri Anda adalah, apakah media sosial menyediakan lebih banyak hiburan? Konten tersebut, menurutnya, memicu keinginan menjadi kaya dalam waktu singkat atau menikmati hidup mewah.

“Waspadai kenyataan di sekitar kita, bukan di Media. Penting untuk menjaga kesehatan mental kita tetap terkendali. Kesehatan mental yang baik adalah landasan kemampuan kita untuk memahami, menyadari bahwa perencanaan keuangan itu penting agar kita bisa menunda kepuasan kita. “Harus bersabar kalau ingin melanjutkan,” jelasnya.

Saran terakhir, katanya, adalah meningkatkan literasi keuangan Anda, termasuk pengelolaan keuangan atau topik yang meningkatkan literasi keuangan dan pendapatan pasif. 

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel