Bisnis.com, JAKARTA – Pendekatan fenomena meteorologi La Nina mengancam pasokan minyak sawit sehingga berisiko kenaikan harga CPO dalam jangka pendek.
Ahli meteorologi Maxar Donald Kinney mengatakan La Nina diperkirakan terjadi pada September 2024 atau Oktober 2024. Fenomena alam ini akan menyebabkan curah hujan di negara-negara Asia Tenggara, produsen utama minyak sawit, berada di atas normal.
Meskipun belum diketahui seberapa besar curah hujan yang akan terjadi, cuaca La Niña kemungkinan akan mengganggu operasional lapangan seiring dengan puncaknya panen kelapa sawit.
Julian McGill, direktur pelaksana konsultan Gleanuk Economics, mengatakan hujan lebat akibat La Nina juga berisiko membahayakan pasokan minyak sawit dan mendorong kenaikan harga dalam jangka pendek.
“Hal ini dapat mengakibatkan kelangkaan minyak sawit yang dapat meningkatkan harga dalam jangka pendek,” ujarnya, dikutip Bloomberg, Senin (15/07/2024).
Perkebunan kelapa sawit dipengaruhi oleh cuaca yang tidak dapat diprediksi, ekspansi yang terbatas, dan penuaan pohon. Kondisi ini telah mendorong harga naik lebih dari 5% sepanjang tahun ini dan membuat pasar semakin rentan terhadap kemunduran lebih lanjut.
Harga acuan minyak sawit berjangka di Malaysia diperkirakan ditutup tahun ini pada 4.000 ringgit, atau $856 AS per ton. Proyeksi ini merupakan rata-rata survei Bloomberg terhadap para pedagang, analis dan eksekutif perkebunan.
“Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah iklim dan permintaan,” kata direktur Godrej International Ltd. Dorab Mistry.
Mistry mengatakan berdasarkan riset, harga minyak sawit akan mencapai level 4.200 ringgit per ton pada Semester II/2024. Namun, jika dampak La Nina tidak terlalu parah, harga diperkirakan akan turun ke level 3.750 ringgit per ton. pada bulan Agustus dan September.
Di sisi lain, banyak faktor yang diperkirakan mempengaruhi pasar. Misalnya saja, cuaca kering di wilayah Laut Hitam berisiko merusak tanaman bunga matahari dan langkah pemerintah Indonesia untuk menambah lebih banyak biofuel pada solar juga berisiko mengurangi surplus ekspor minyak sawit.
Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel