Bisnis.com, JAKARTA – Hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) tahun 2024 mencatat indeks literasi keuangan masyarakat berada pada level 65,43%. Sayangnya, seiring dengan meningkatnya tingkat literasi keuangan, masih banyak masyarakat yang terjebak dalam modus penipuan (fraud).
Sederhananya, proporsi ini dapat berarti bahwa dari 100 orang yang disurvei pada kelompok umur 15 hingga 79 tahun, sekitar 65 orang memiliki tingkat kompetensi finansial yang baik.
Friderica Widyasari Dewi, Direktur Jenderal Pengawasan Perilaku Pelaku Ekonomi di Bidang Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK), mengatakan meski tingkat pemahaman masyarakat terhadap literasi keuangan cukup tinggi, namun masih terdapat kesenjangan dalam perilaku ekonomi mereka.
“[Misalnya] tingkat pemahaman masyarakat yang terkesan cukup tinggi, seringkali masih lebih rendah dibandingkan perilaku yang disebabkan oleh keserakahan, ketamakan, dan ingin segala sesuatunya cepat, segera,” ujarnya dalam konferensi pers bulanan hasil RDK pada Juli 2024. , Senin (8/5/2024).
Sebagaimana diketahui, survei SNLIK harus diselesaikan dengan memenuhi lima aspek, yaitu pengetahuan, keyakinan, keterampilan, sikap, dan perilaku.
Perempuan yang kerap disapa Kiki ini mengatakan, selain penguatan literasi keuangan dan pemahaman OJK, penguatan regulasi dan penegakan hukum juga harus dilakukan melalui kerja sama semua pihak.
Lebih lanjut dikatakannya, OJK terus mengedepankan edukasi dengan tetap memperhatikan 2L yaitu legal dan logis.
Legal artinya memverifikasi legalitas/lisensi perusahaan dan produk yang ditawarkan. Sedangkan logis berarti memahami rasionalitas imbal hasil/manfaat yang ditawarkan.
“[2L] selalu kami masukkan dalam berbagai modul pendidikan dan kami ajarkan kepada mereka untuk tidak sembarangan memberikan data identitas diri agar tidak dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab,” ujarnya.
Dari sisi regulasi, jelas Kiki, sudah ada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pembangunan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) yang secara khusus mengatur pelanggaran sistem Fraud di sektor keuangan yang saat ini semakin canggih.
Dalam P2SK disebutkan, mereka yang melakukan kegiatan ekonomi ilegal dan merugikan masyarakat dapat dikenakan denda Rp1 miliar hingga Rp1 triliun dan pidana penjara paling lama 10 tahun.
“Dari sisi penegakan hukum, OJK juga mendorong penegakan hukum Satgas Pemberantasan Kegiatan Keuangan Ilegal [Satgas PASTI] dan mendorong pembentukan pusat anti-fraud,” ujarnya.
Sebagaimana diketahui, hasil SNLIK 2024 menunjukkan indeks literasi keuangan penduduk Indonesia mencapai 65,43%, sedangkan indeks inklusi keuangan mencapai 75,02%.
Survei tahun ini juga mencakup tingkat literasi keuangan dan inklusi syariah. Hasilnya menunjukkan indeks literasi keuangan syariah sebesar 39,11% dan indeks inklusi keuangan syariah sebesar 12,88%.
Khusus perbankan, indeks literasi keuangan mencapai 64,05% dan tingkat pengetahuan perbankan syariah sebesar 34,58%. Sedangkan inklusi perbankan mencapai 68,88% dan inklusi perbankan syariah mencapai 8,7%.
Kiki mengungkapkan, salah satu faktor industri perbankan sangat tinggi, karena produk keuangan perbankan sudah dikenal masyarakat luas sejak dini.
Hal ini tercermin dari upaya OJK yang gencar meningkatkan inklusi dan literasi keuangan sejak dini melalui program Satu Rekening Pelajar (KEJAR).
Program KEJAR diluncurkan bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, dan bekerja sama dengan pemerintah daerah. Semua bank yang menawarkan produk simpanan pelajar (SimPel) dan tabungan anak atau pelajar ikut serta dalam program ini.
“Program KEJAR bisa dikatakan mencapai Rp 32,8 triliun yang dimiliki oleh 57 juta siswa. Maka SimPel terus kita tingkatkan. Artinya, produknya sederhana, mudah diakses, dan jangkauannya luas.
Lihat berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel