Bisnis.com, JAKARTA – Peningkatan produksi minyak sawit mentah (CPO) di Indonesia semakin penting seiring dengan meningkatnya konsumsi dalam negeri.

Ketua Hubungan Media Gabungan Pedagang Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Fenny Sofyan mengatakan, stagnannya produksi minyak sawit dalam beberapa tahun terakhir disebabkan oleh rendahnya produktivitas. Pasalnya, hampir 40% perkebunan kelapa sawit di Tanah Air, atau sekitar 6,57 juta hektar, tergolong perkebunan tua atau tidak produktif.

“Perkebunan sawit di Indonesia sebenarnya lebih besar dibandingkan Malaysia, tapi kalau dilihat produktivitasnya lebih rendah. Seharusnya sama,” kata Fenny, Kamis (7 April 2024) dalam rapat dengar pendapat di Kementerian Pertanian.

Menurut dia, salah satu upaya yang perlu dilakukan untuk meningkatkan produksi kelapa sawit adalah dengan mempercepat program Peremajaan Sawit Masyarakat (PSR). Ia mengatakan, selain mengandalkan pemerintah dalam hal ini Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) untuk melakukan peremajaan, juga diperlukan peran perusahaan dalam kaitannya dengan mitra petani dalam melakukan peremajaan.

“Petani perlu diberikan pelatihan mengenai peremajaan kelapa sawit agar perusahaan dapat melakukan peremajaan secara konsisten,” ujarnya.

Di sisi lain, Fenny mengakui moratorium sawit juga menyulitkan peningkatan produksi tanpa ekstensifikasi. Namun dia menekankan bahwa alih-alih percaya bahwa moratorium telah dicabut, yang penting adalah menilai hasil panen.

Penyebabnya adalah konsumsi minyak sawit dalam negeri yang terus meningkat sehingga berdampak pada peningkatan produksi minyak sawit dalam negeri. Sementara data Gapka menunjukkan total produksi CPO dan turunannya mencapai 54,8 juta ton pada tahun 2023, meningkat tipis dibandingkan produksi tahun 2020-2022 yang berjumlah sekitar 51 juta ton.

Namun konsumsi minyak sawit dalam negeri untuk kebutuhan energi (biodiesel) dan pangan semakin meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2020, konsumsi minyak sawit di Indonesia sebesar 17,34 juta ton; hingga 18,42 juta pada tahun 2021; Menjadi 21,14 juta ton pada tahun 2022, dan 23,21 juta ton pada tahun 2023.

“Setelah moratorium perkebunan sawit, kita perlu melakukan pengkajian produksi kita agar bisa cepat tumbuh,” ujarnya.

Fenny juga menjelaskan, peningkatan konsumsi dalam negeri yang tidak ditutupi oleh peningkatan produksi dapat mempengaruhi volume ekspor. Selain itu, program pengembangan biodiesel juga meningkatkan penggunaan minyak sawit di dalam negeri. Di sisi lain, bea keluar CPO dan turunannya digunakan untuk memberikan insentif bagi program biodiesel nasional.

“[Produksi] hulu perlu digenjot secepatnya untuk memenuhi kebutuhan hilir,” kata Fenny.

Lihat berita dan artikel lainnya di Google News dan WA