Bisnis.com, Jakarta – Tekanan yang dihadapi emiten properti datang bertubi-tubi, mulai dari tingginya suku bunga hingga depresiasi nilai tukar rupiah. Situasi ini dikhawatirkan akan semakin merusak daya beli konsumen terhadap properti.

Diketahui, Bank Indonesia (BI) kembali mempertahankan suku bunga dasar BI rate sebesar 6,25%, serta limit simpanan dan pinjaman sebesar 5,5% dan 7%. Diputuskan untuk menjaga tingkat inflasi pada kisaran 1,5-3,5%.

Analis Kium Securitas Indonesia Vicki Rosalinda mengatakan tekanan suku bunga berdampak besar pada emiten properti. Suku bunga yang tinggi diperkirakan akan meningkatkan biaya modal dan menekan margin keuntungan emiten.

“Selain itu, suku bunga yang tinggi dan nilai kredit yang tinggi juga dapat menyebabkan keengganan masyarakat untuk membeli rumah sehingga dapat menghambat laju ekspansi dan profitabilitas pengembang properti,” ujarnya, Jumat (21/6). ) katanya kepada Bisnis. 2024).

Tekanan yang dihadapi emiten properti juga tercermin pada kinerja indeks saham. Sepanjang tahun ini, yakni sejak Awal Tahun (ItD), indeks saham properti terkoreksi 16,44%.

Sementara nilai tukar Rupee terhadap Dolar AS saat ini berada pada angka 1 Dolar AS = Rp 16.450. Posisi ini kehilangan 6,89% sepanjang tahun ini.

Rosalinda mengatakan pelemahan rupee juga berdampak besar pada emiten sektor real estate, khususnya emiten obligasi berdenominasi dolar AS.

Dia menyimpulkan bahwa “depresiasi rupee terhadap dolar AS dapat meningkatkan beban utang dalam mata uang dolar AS kepada emiten real estat dan dapat memperburuk hasil keuangan emiten real estat.”

Di sisi lain, harga tanah di sektor real estate sebenarnya berpeluang pulih. Menurut penelitian CGS International Securitas, data harga real estat sekunder dari tahun 2016 hingga Mei 2024 di pasar real estat ketiga menunjukkan pertumbuhan harga.

Analis CGS International Securitas Varna Alcasatillo mengatakan wilayah Bogor menunjukkan pertumbuhan harga tanah sekunder tertinggi. Sementara itu, lahan proyek CTRA di Serpong sepanjang tahun meningkat dibandingkan rata-rata Jabodetabek.

Namun, Varuna mengatakan aspek selain fundamental menghambat pemeringkatan ulang sektor real estat. Hal ini terutama disebabkan oleh melemahnya rupee dan imbal hasil obligasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan ekspektasi suku bunga.​​

“Namun, kami memperkirakan posisi rupee terhadap dolar AS akan membaik pada kuartal kedua tahun 2024, sehingga mengarah pada re-rating sektor real estate,” ujarnya dalam publikasi riset.​​

CGS International Securitas sejauh ini masih mempertahankan rekomendasi overweight terhadap saham-saham sektor real estate, termasuk saham PT Ciputra Development Tbk. (CTRA) sebagai pilihan utama Anda.​

Rumah tanah tidak terpengaruh.

Pada kesempatan lain, Presiden Direktur PT Summarecon Agung Tbk mengatakan: (SMRA) Adrian P. Adi mengatakan pelemahan rupee tidak akan banyak berdampak pada kinerja perusahaan yang fokus pada pengembangan rumah tapak.

Menurut dia, pembangunan apartemen tanah tidak bergantung pada bahan baku impor. Kebutuhan ini berbeda dengan sektor perumahan yang banyak membutuhkan barang impor, seperti lift.

“Ngomong-ngomong, kami tidak fokus membangun apartemen baru,” ujarnya dalam paparan publik.

Melihat situasi tersebut, Adrianto mengatakan hingga saat ini smartphone masih berfungsi seperti biasa. Perseroan bahkan belum mengambil langkah mitigasi khusus untuk menghadapi depresiasi rupee yang terus berlanjut.

“Bisnis ponsel pintar yang terkait dengan nilai tukar hanya sebagian kecil, dan kami menjalankan bisnis seperti biasa, tidak terlalu fokus menyiapkan langkah-langkah mitigasi yang konkrit,” ujarnya.

Sementara itu, Chandra Ciputra, Managing Director Ciputra Development, mengatakan ada risiko dampak pelemahan rupee akan membatasi daya beli masyarakat terhadap real estate. Oleh karena itu, pemerintah diharapkan bertindak cepat mengatasi pelemahan rupee.

Namun, dia mengatakan depresiasi rupee tidak akan menyebabkan gangguan keuangan perusahaan akibat kenaikan suku bunga obligasi internasional. Sebab, sebagian besar obligasi CTRA berdenominasi dolar Singapura.

“Mengapa kami memutuskan untuk meminjam di Singapura? Karena obligasi dolar Singapura tidak semahal obligasi lainnya,” kata Chandra dalam konferensi pers rapat umum tahunan perseroan tahun 2023.

Hingga kuartal I 2024, Ciputra Development telah mencatatkan pra-penjualan alias marketing sales sebesar 3,3 triliun rupiah. Pendapatan ini lebih rendah 4% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Meski mengalami penurunan, realisasi pra-penjualan CTRA mencapai 30% dari target tahun ini sebesar Rp 11,2 triliun. Angka ini juga melebihi rata-rata historis sebesar 24% selama lima tahun terakhir.

Summarecon, sebaliknya, meraih pra-penjualan sebesar Rp 809 miliar, meningkat 23,6% pada tahun ini. Pendapatan tersebut 16,2% dari target tahun 2024 sebesar Rp 5 triliun.

Menurut laporan perusahaan, wilayah Jakarta dan sekitarnya memberikan kontribusi terbesar terhadap pra-penjualan SMRA, dengan pangsa sebesar 83%. Selain itu, Bandung dan Makassar masing-masing menyumbang 7% dan Karawang masing-masing 3%.

__________

Penafian: Berita ini tidak dimaksudkan untuk mendorong pembelian atau penjualan saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab atas segala kerugian atau keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.

Lihat berita dan artikel lainnya di Google Berita dan VA Channel