Bisnis.com, JAKARTA – Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menemukan sejumlah permasalahan dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang pengelolaan perlindungan anak dalam penerapan sistem elektronik (PSE).

Direktur Eksekutif ELSAM Vahiudi Djafar mengatakan ada lima permasalahan dalam penyusunan RPP. Pertama, potensi tumpang tindih antara kewajiban umum PSE dengan kewajiban PSE perlindungan anak yang dirumuskan dalam RPP ini.

Hal ini dikarenakan pemenuhan kewajiban PSE untuk menjamin perlindungan anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tanggung jawab PSE, oleh karena itu dalam konteks penegakan hukum tidak boleh lepas dari mekanisme penegakan hukum yang menyangkut pelanggaran terhadap kepatuhan terhadap anak. PSE secara keseluruhan,” kata Vahjudi dalam keterangan tertulis, Senin (6 Oktober 2024).

Wahiudi berpendapat, dalam penerapannya harus terintegrasi dengan aparat penegak hukum terkait pelanggaran kepatuhan terhadap PSE secara umum, meski ketentuan Pasal 16B UU ITE secara khusus mengatur bentuk sanksi administratif mulai dari teguran tertulis, administratif. denda, hukuman sementara. penangguhan. dan penghentian akses.

Hal ini dilakukan agar PSE tidak dihukum dua kali, demi menghormati prinsip keselamatan dan keadilan.

Lebih lanjut, Vahjudi mengatakan pelanggaran terkait kewajiban PSE menjamin perlindungan anak dapat menjadi acuan dalam menentukan besaran sanksi, seperti indeks denda, serta tenggat waktu terkait kewajiban pemblokiran (pencabutan). PSE. konten yang melanggar kewajiban perlindungan anak.

Kedua, perlakuan terhadap PSE di domain publik berbeda. Merujuk pada Pasal 16A UU ITE, kewajiban melindungi anak yang menggunakan atau mengakses sistem elektronik berlaku baik bagi PSE swasta maupun negeri.

Dalam UU ITE, PSE mengacu pada penyelenggara publik, masyarakat, badan usaha, dan/atau masyarakat, sedangkan RPP ini sebenarnya menyebutkan bahwa PSE yang dimaksud hanya terbatas pada sektor swasta.

RPP tidak boleh membatasi ruang lingkup materi peraturan ini, hanya mencakup PSE di ranah privat, tetapi juga harus menjangkau PSE di ranah publik,” ujarnya.

Ketiga, Wahiudi memandang perlu melibatkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPA), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), serta kementerian/lembaga lain yang terkait dengan perlindungan anak.

Di sisi lain, RPP tidak secara spesifik memasukkan kedua lembaga negara tersebut dalam pengelolaan perlindungan anak di ruang digital.

“Sebenarnya kompetensi mengenai perlindungan anak ada pada Kementerian Dalam Negeri yang tugasnya mengkoordinasikan kebijakan terkait perlindungan anak,” imbuhnya.

Vahjudi mengatakan, meski dalam rancangan tersebut diatur bahwa pengusutan dugaan pelanggaran dapat dikoordinasikan dengan kementerian lain, namun dipandang perlu ditegaskan bahwa fungsi tersebut berada di Kementerian Perlindungan Anak.

Pada saat yang sama, Kementerian Sumber Daya Alam dan Pembangunan juga sedang dalam proses meresmikan rancangan Perpres tentang rencana aksi perlindungan anak dalam jaringan tahun 2025-2029.

Dikatakannya, rencana aksi ini mensyaratkan regulasi pengelolaan PSE hanya mencakup PPPA, BSSN, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Sains dan Teknologi, Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, Kementerian Agama, termasuk. LPSK.

Keempat, adanya kesimpangsiuran batasan usia anak akibat beberapa undang-undang yang mengatur batasan usia anak berbeda-beda sehingga sulit menerapkan jaminan usia tersebut.

Menurutnya, perlu adanya kejelasan terkait kewajiban sektor publik, khususnya JZS, yang mengolah data pribadi penduduk, karena termasuk pengolahan data pribadi anak.

“Dalam teknis pengolahan data pribadi penduduk, harus dibedakan antara pengolahan data penduduk yang berusia di bawah 18 tahun,” imbuhnya.

Kelima, potensi tumpang tindih mandat antara Cominfo dan Badan Perlindungan Data Pribadi, khususnya terkait tindakan tindak lanjut apabila terdapat dugaan penegakan hukum.

Disampaikan Vahiudi, untuk menjamin efektivitas penerapan peraturan ini, diperlukan pemisahan yang jelas antara Cominfo dan lembaga PDP.

Potensi tumpang tindih kewenangan terjadi ketika pengelolaan perlindungan anak di ruang digital bersinggungan dengan pengolahan data pribadi anak, tambahnya.

Perlu diingat, pada akhir tahun 2023, pemerintah dan DPR telah mengesahkan UU No. 11/2008 diubah dengan UU No. 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang kemudian diundangkan dengan UU No. 1/2024.

Salah satu pasal yang diselaraskan dengan perubahan UU ini adalah penambahan Pasal 16A dan 16B yang mengatur tentang kewajiban PSE dalam melindungi anak yang menggunakan sistem elektronik.

Klausul baru ini melengkapi UU No. 27/2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) yang mengklasifikasikan data tentang anak sebagai data pribadi yang spesifik atau sensitif.

Sebagai turunan dari ketentuan Pasal 16A dan 16B UU ITE, Pemerintah saat ini sedang menyusun rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Perlindungan Anak dalam Penerapan Sistem Elektronik.

Oleh karena itu, inisiatif ini memberikan tanggung jawab yang lebih besar kepada penyedia sistem elektronik PSE untuk menyediakan ruang digital yang aman bagi anak-anak.

Lihat berita dan artikel lainnya di Google Berita dan VA Channel