Bisnis.com, JAKARTA – Output Jepang meningkat selama tujuh bulan berturut-turut pada Juni 2024, mendukung ekspektasi pemulihan perekonomian pada paruh kedua tahun 2024 setelah sempat mengalami penurunan di awal tahun. Neraca perdagangan pun berbalik positif setelah dilaporkan defisit 

Kementerian Keuangan Jepang melaporkan pada Kamis (18/7/2024) bahwa ekspor naik 5,4% year-on-year, dipimpin oleh peralatan pembuat chip dan logam. Namun hasil ini tidak sesuai dengan perkiraan para ekonom yang memperkirakan kenaikan sebesar 7,2%.

Sementara itu, impor naik 3,2% dibandingkan perkiraan analis sebesar 9,6%. Dengan peningkatan impor yang lebih kecil dari perkiraan, neraca perdagangan berubah menjadi surplus 224 miliar yen atau sekitar Rp 23 triliun dari defisit 1,22 miliar yen pada Mei 2024.

Peningkatan yang seimbang dalam perdagangan ini mungkin telah membantu Jepang kembali ke pertumbuhan pada kuartal terakhir, namun para ekonom memperingatkan adanya perbedaan dalam kekuatan permintaan domestik dan eksternal. 

Bank sentral Jepang (BOJ) sedang menilai kekuatan perekonomian menjelang keputusan kebijakan moneter terbarunya pada akhir bulan ini, di mana bank tersebut akan mengumumkan penurunan harga obligasi. Sekitar sepertiga ekonom yang disurvei memperkirakan BOJ akan menaikkan suku bunga lagi.

Ekonom Daiwa Securities Yutaro Suzuki mengatakan dia melihat produk domestik bruto (PDB) meningkat pada kuartal kedua dibandingkan kuartal pertama. Namun, pertumbuhannya dianggap lemah. 

“Impor lebih lanjut menunjukkan lemahnya permintaan dalam negeri dan oleh karena itu lemahnya konsumsi. Tanpa konfirmasi pemulihan konsumsi, akan sulit bagi BOJ untuk mengambil tindakan,” ujarnya kepada Bloomberg, Kamis (18/7/2024). 

Nilai ekspor didorong oleh lemahnya yen yang diperdagangkan rata-rata 156,64 per dolar pada Juni 2024, 12,5% lebih lemah dibandingkan tahun sebelumnya, menurut Kementerian Keuangan.

Berdasarkan wilayah, ekspor Jepang ke Amerika Serikat (AS) naik 11%, mengimbangi tingkat pertumbuhan bulan lalu. Pertumbuhan ekspor ke Tiongkok juga turun dari 17,8% menjadi 7,2%, dan ekspor ke Uni Eropa (UE) turun 13,4%. 

Kemudian pertumbuhan Tiongkok juga tiba-tiba melambat ke laju paling lambat dalam lima kuartal pada kuartal kedua tahun 2024. Hal ini memberikan tekanan pada pembuat kebijakan untuk meningkatkan dukungan mereka. 

Pelemahan yen membantu meningkatkan pendapatan eksportir Jepang di luar negeri. Namun, dampak ekonomi secara keseluruhan beragam. Namun, lemahnya mata uang juga menimbulkan kekhawatiran terhadap kenaikan harga energi, pangan dan bahan mentah di negara miskin sumber daya tersebut.

Untuk berita dan artikel lainnya, kunjungi Google Berita dan WA Channel