Bisnis.com, JAKARTA – Direktur Pusat Penelitian Ekonomi dan Hukum Ekonomi Digital (Celios) Nailul Huda mengingatkan ancaman shadow economy yang saat ini mengintai perekonomian Indonesia. 

Dijelaskannya secara umum, berdasarkan data terkini Badan Pusat Statistik atau BPS, tingkat pengangguran mengalami penurunan, tingkat pengangguran terbuka menurun dari 5,45 persen menjadi 4,82 persen.

Namun ia mencatat bahwa tingkat pengangguran ini bukanlah lapangan kerja penuh, melainkan setengah lapangan kerja. Tingkat pengangguran meningkat hingga Februari 2024, sementara jumlah pekerja penuh waktu menurun.

Menurutnya, keadaan seperti ini sangat berbahaya bagi kualitas perekonomian Indonesia, karena perekonomian ditopang oleh sektor informal yang bukan merupakan bagian dari perekonomian atau shadow economy, serta tidak memberikan manfaat bagi entitas yang terkait dengan shadow economy. .

“Industrialisasi atau pembangunan kembali industri Indonesia harus dilakukan berdasarkan kemampuan kunci nasional, seperti pengembangan UKM pada sumber daya lokal,” ujarnya kepada Bisnis, Minggu (14/7/2024).

Selain itu, kata dia, pemerintah dan dunia usaha juga harus meminimalisir kesenjangan antara sumber daya manusia (SDM) dan dunia industri agar semakin banyak menarik lulusan yang terjun ke dunia industri.

Di sisi lain, data BPS juga menunjukkan bahwa sebagian pekerja tetap akan menganggur pada tahun 2024.

“Saya pikir data September 2024 akan menunjukkan peningkatan tingkat pengangguran karena telah terjadi PHK besar-besaran setelah kuartal pertama tahun 2024, terutama di sektor tekstil. Tampaknya setengah pengangguran juga akan sulit ditemukan.” pekerjaan informal adalah salah satu pilihan,” katanya.

Situasi ini tentu mengkhawatirkan karena proporsi pekerja informal di Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan proporsi pekerja formal.

Muhammad Faisal, Direktur Eksekutif Pusat Reformasi Ekonomi, menjelaskan tingginya sektor informal terkait dengan kesulitan pendidikan, keterampilan, dan relatif terbatasnya lapangan kerja formal.

Permasalahan ini muncul karena ketersediaan tenaga kerja yang sebagian besar berpendidikan SLTA atau SMA tidak sesuai dengan permintaan industri yang juga terbatas. Akibatnya, banyak pekerja yang tidak tercakup dalam sektor formal bergabung ke sektor informal.

“Selain itu, bukan berarti perwakilan sektor informal tidak mau masuk ke sektor formal karena tidak mempunyai kesempatan. “Ada juga konteks bisnis di sektor informal. UKM tidak masuk ke sektor formal karena konsekuensi pajak yang harus ditanggung yaitu tambahan biaya berusaha, sedangkan keuntungannya masih kecil,” jelasnya. .

Faisal mencatat, Indonesia masih didominasi oleh perusahaan-perusahaan kecil secara struktural. Ia mengingatkan pemerintah agar menciptakan mekanisme insentif agar usaha kecil bisa berkembang dan tidak terburu-buru mengenakan pajak.

“Misalnya dengan mengaktifkan akses pasar, bantuan teknis, dan birokrasi perizinan,” imbuhnya.

Sementara itu, Ketua Kelompok Humas Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan atau PPATK, Natsir Kongah, mengatakan PPATK belum memiliki informasi terkait fenomena ekonomi bayangan. 

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan Channel WA