Bisnis.com, JAKARTA – Kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia menurun selama lima tahun terakhir. Hal ini terlihat dari pertumbuhan ekonomi, sementara jumlah kelas menengah semakin menyusut dan bahkan jumlah masyarakat miskin dan berisiko kemiskinan semakin bertambah.
Arief Anshori Yusuf, Anggota Dewan Ekonomi Nasional, mengatakan penyebab pastinya masih perlu diselidiki lebih dalam. Namun, ia berhipotesis bahwa hal itu disebabkan oleh tiga faktor.
Pertama, karena apa yang terjadi pada struktur perekonomian Indonesia. Pada periode ini, meskipun pertumbuhan ekonomi kita cukup positif dan inklusif, namun struktur transformasi kita cukup lemah, kata Arief, Sabtu (16/11/2024). ). dikutip dari saluran YouTube SKS Podcast.
Arief menjelaskan, secara teori ekonomi, berkembangnya struktur transformasional yang kuat ditandai dengan tingginya pertumbuhan produksi industri. Sementara Arief melihat sektor manufaktur Indonesia masih tertinggal dalam 15 tahun terakhir.
Akibatnya, peningkatan besar dalam angkatan kerja tidak dapat diakomodasi di sektor manufaktur dengan produktivitas tinggi seperti sektor perdagangan atau keuangan. Yang terjadi kemudian, segmentasi masyarakat ini akan bekerja pada sektor jasa yang produktivitasnya rendah.
Faktor kedua adalah kapasitas negara lemah atauweak state capacity. Kondisi ini menjadikan warga negara rentan terhadap berbagai guncangan. Arief menjelaskan, kemampuan suatu negara dalam melindungi warganya, misalnya melalui opsi kesejahteraan sosial, sangat bergantung pada kekuatan fiskal pemerintah.
Kapasitas tersebut dinyatakan dengan indikator fiskal yang dihitung dari nilai penerimaan pajak suatu negara dibagi dengan produk domestik bruto (PDB). Indikator ini menunjukkan seberapa besar suatu negara bersedia mengeluarkan dana untuk melindungi warganya.
“Rasio fiskal Indonesia sangat rendah dan trennya menurun, berkisar 9-10%. Dibandingkan negara tetangga, Thailand sendiri 16%,” kata Arief.
Buruknya perlindungan warga negara di negara ini diperburuk oleh belanja sosial pemerintah, yang menurut Arif masih jauh dari sempurna. Misalnya, 50% anggaran sosial yang disediakan pemerintah tidak tersalurkan sesuai harapan.
“Karena database kami tidak selalu update. Sementara itu, dinamika keadaan penduduk miskin dan tidak terlalu miskin di Indonesia berlangsung sangat cepat. Dalam kebanyakan kasus, 50% [kebobolan gol] tidaklah buruk,” katanya.
Faktor yang ketiga adalah faktor kegagalan atau kegagalan. Arief mencontohkan pandemi Covid-19 yang menurutnya Indonesia belum sepenuhnya pulih dari keadaan darurat ini. Ia mencontohkan: Banyak orang yang kehilangan pekerjaan di masa pandemi, namun belum mendapatkan kesempatan kerja.
Contoh lainnya adalah konflik global antara Rusia dan Ukraina yang berdampak pada kenaikan harga bahan baku di dunia. Saat itu, Indonesia benar-benar mendapat berkah karena harga komoditasnya meroket.
“Hal ini sangat tidak baik karena industri-industri ini padat modal dan tidak menarik hilangnya angkatan kerja. Pertumbuhan ekonomi sebesar 5% terjadi pada sektor-sektor yang lebih cenderung padat modal dibandingkan padat karya dan tidak menciptakan lapangan kerja,” kata Arief.
Arief membandingkan kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia antara tahun 2002 dan 2019. pada tahun 2019-2024 tahun. Pada tahun 2002-2019, pertumbuhan ekonomi berada pada kisaran 5-6% yang diiringi dengan peningkatan kesejahteraan.
Datanya menunjukkan bahwa antara tahun 2002 dan 2019, jumlah kelas menengah meningkat sebesar 42 juta orang, kelas menengah baru meningkat sebesar 38 juta orang, dan jumlah masyarakat miskin dan berisiko kemiskinan menurun. 34 juta.
Sementara itu, dalam lima tahun terakhir, kelas menengah justru menyusut sebanyak 9,5 juta orang, sedangkan jumlah masyarakat miskin dan berisiko miskin meningkat sebanyak 12,7 juta orang.
“Contohnya: pada tahun 2002, kelas menengah hanya berjumlah 7% dari populasi. Pada tahun 2019 sebesar 21%. Ini pertanda perkembangan yang baik, pertanda normal. Kini hanya tersisa 17% dari 21%. 5 tahun,” tutupnya.
Lihat berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel