Bisnis.com, JAKARTA – Ekonom Institute for Economic and Financial Development (Indef) Drajad Wibowo mengatakan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai atau PPN menjadi 12% akan memberikan beban berat bagi perekonomian karena ada kemungkinan penurunan tarif. konsumsi. Selain itu, jumlah kelas menengah terus menyusut.

Hal tersebut disampaikan Drajad pada acara UOB Economic Outlook di Jakarta Pusat pada Rabu (25/9/2024). Dia menjelaskan bahwa lebih dari Rp 1.000 triliun disimpan untuk tujuan terkait utang, dan ketika kondisi keuangan semakin ketat, pemerintah membutuhkan lebih banyak pendapatan.

Menurut dia, kunci peningkatan pendapatan pemerintah adalah reformasi keuangan publik, khususnya perpajakan. Namun hal tersebut tidak bisa dilakukan dengan mengikuti pemotongan pajak yang sudah ada, seperti rencana kenaikan PPN menjadi 12%.

Drajad sebenarnya adalah anggota Dewan Pakar Prabowo-Gibran, dan Ketua Dewan Pakar Partai Amanat Nasional (PAN) yang merupakan bagian dari koalisi pemerintahan berikutnya. Namun Drajad pribadi mengutarakan pendapatnya bahwa kenaikan PPN akan memberikan beban berat bagi perekonomian.

“Sebagai perorangan, bukan sebagai anggota kelompok Prabovo-Gibran atau PAN sebagai perorangan, tapi sebagai perseorangan, saya tidak setuju kenaikan PPN menjadi 12%. Karena dari yang saya pantau, pantauan yang saya lakukan, risikonya sangat tinggi [ancamannya tinggi],” kata Drajad. Rabu (25/9/2024) kata.

Menurut Drajad, industrialisasi dan kenaikan tarif PPN sebesar 11% dalam dua tahun terakhir juga memberikan tekanan pada kelas menengah. Memang benar bahwa tulang punggung konsumsi domestik, yang merupakan komponen utama perekonomian Indonesia, adalah kelas menengah.

“Saya telah mengamati pertumbuhan kita setiap kuartal sejak krisis Asia, dan pertumbuhan kita berkaitan erat dengan pertumbuhan konsumsi. Jika pertumbuhan konsumsi melambat, seiring menyusutnya kelas menengah, bagaimana kita bisa mencapai pertumbuhan [ekonomi]?” Dia berkata.

Drajad mengakui kenaikan PPN sebesar 12% sebagaimana diamanatkan Undang-Undang 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Namun, ia berharap pemerintahan Prabowo akan mempertimbangkan kembali peraturan tersebut mengingat tekanan ekonomi yang sedang berlangsung.

“Saya pribadi kurang setuju dengan 12%, tapi itu sudah ada dalam undang-undang. Saya berharap tahun depan ditinjau kembali,” ujarnya.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA