Bisnis.com, JAKARTA – Peneliti senior Pusat Pengkajian Kebijakan Ekonomi (PPKE FEB UB), Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya, Joko Budi Santoso meminta pemerintah berhati-hati dalam menetapkan tarif cukai tembakau tahun 2025. . produk (CHT). 

Penerapan CHT atau cukai rokok 10 lapis saat ini dinilai paling baik untuk menjaga keseimbangan pendapatan nasional dan keberlangsungan industri warisan budaya dengan kandungan lokal tinggi.

 Jika melihat peredaran rokok ilegal yang semakin meningkat, ada baiknya mempertimbangkan penambahan lapisan untuk memasukkan rokok ilegal ke dalam kategori legal.

Ia mengatakan pada Senin (13/05/2024) “Menyederhanakan lapisan jelas bukan jawaban dalam menghadapi penurunan kinerja industri.”

Mengenai standar CHT secara umum, beliau mengatakan berdasarkan penelitian PPKE FEB UB dan analisa kepabeanan dan cukai dengan metode laffer curve, beliau menyampaikan bahwa harga rokok saat ini sudah melampaui batas maksimal.

Artinya, jika tarif cukai terus dinaikkan, maka penerimaan CHT akan menurun (menurunkan pertumbuhan). 

Hal ini terjadi karena kenaikan cukai berdampak pada harga rokok, namun tidak diimbangi dengan peningkatan daya beli masyarakat sehingga ketersediaan rokok legal semakin berkurang.

Menurut dia, situasi tersebut berdampak pada penurunan volume produksi produsen rokok. Akibatnya, menurut dia, permintaan pita cukai dari produsen rokok juga menurun sehingga berdampak pada penurunan pendapatan para HT. 

Berdasarkan fakta tersebut, dia menekankan, idealnya CHT tidak tumbuh lebih dari dua digit setiap tahunnya. Hal ini untuk meningkatkan penerimaan negara dari HT, tanpa memperburuk fungsi cukai dalam mengekang konsumsi dan dampak eksternal negatif dari konsumsi produk HT.

Menurutnya, perilaku konsumen masyarakat secara teoritis dapat dikendalikan melalui sistem mekanisme harga yang salah satu instrumennya adalah tarif. 

Namun hal ini tidak terjadi bila mengonsumsi barang yang bersifat adiktif.

Artinya mekanisme harga dengan menaikkan tarif dengan penurunan konsumsi tidak linier atau serta merta memaksa perokok berhenti merokok, tetap merokok, jelasnya. 

Bagi masyarakat menengah ke bawah, kata Joko, respons terhadap kenaikan tarif adalah dengan mengonsumsi rokok dengan harga terjangkau. Hal ini membuka wilayah pasar yang lebih luas untuk barang murah atau rokok ekonomis/murah, dan rokok ilegal memasuki sebagian besar pasar ini. 

Jika tujuan kenaikan tarif adalah untuk membatasi konsumsi dan mengendalikan dampak pengaruh negatif eksternal, menurutnya diperlukan upaya lain di luar alat tarif.

Menurutnya, alat cukai tidak linear dengan penurunan konsumsi rokok, rokok ilegal semakin banyak karena market place yang semakin luas akibat kenaikan selisih harga antara rokok legal dan ilegal, sehingga merupakan pilihan bijak bagi konsumen untuk memilih. memilih. rokok yang lebih murah dari segi daya belinya, termasuk rokok.

Struktur tarifnya berlapis, karena karakteristik dan jenis produk IHT berbeda-beda, ada SPM, SKM, PDB, dan lain-lain, menurut Joko hal itu juga terkait dengan penyerapan tenaga kerja di sektor produksi jenis produk IHT. , sehingga mekanisme struktur tarif yang digunakan berbeda. 

“Tentunya dalam menentukan tarif cukai perlu melihat capaian indikator-indikator makroekonomi, seperti perkembangan ekonomi, inflasi, daya beli masyarakat dan tingkat penyerapan angkatan kerja, serta hubungan OKI dengan sektor lain,” ujarnya. 

Ia menyebutkan, dalam mempertimbangkan kenaikan tarif cukai satu atau dua digit, kita harus menyeimbangkan kepentingan dan stabilitas berbagai pihak, tidak hanya satu pihak misalnya, jangan terlalu berbias pada kesehatan sebagai landasan menaikkan tarif. pajak cukai. harga.

Ia berpendapat, ke depan pemerintah harus menjamin kepercayaan terhadap stabilitas OKI, salah satu langkah utamanya adalah menyiapkan peta jalan perkembangan OKI ke depan dengan mempertimbangkan berbagai kepentingan. 

“Komunikasi dan koordinasi yang efektif dan intensif dengan berbagai kelompok kepentingan akan menjadi kunci keberhasilan kebijakan cukai, yang akan menjamin rasa keadilan, yang akan menjamin keberlanjutan IHT, lapangan kerja, pertanian tembakau, pendapatan pemerintah dan tentu saja keberlanjutan. keberhasilan kebijakan cukai dari segi regulasi pengelolaan konsumsi dan eksternalitas negatif,” ujarnya.

Sebelumnya, pelaku kecil industri rokok yang tergabung dalam Forum Masyarakat Industri Rokok Indonesia (Formasi) menyarankan agar tarif cukai rokok pada tahun 2025 tidak dinaikkan karena beban industri terlalu berat, apalagi dengan banyaknya peredaran rokok ilegal.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan Channel WA