Bisnis.com, Jakarta – Presiden dan Wakil Presiden Prabowo Subianto dan Jibran Rakabuming akan dilantik pada 20 Oktober 2024. Pada masa transisi pemerintah, menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% dan permasalahan terkait penetapan cukai rokok. Permen Plastik dan Minuman Cukai (MBDK) sebenarnya menuai pro dan kontra. 

Ketentuan kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% diatur dalam Undang-Undang (UU) No. diberikan dalam 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). 

“Tarif Pajak Pertambahan Nilai…sebesar 12% [dua belas persen] yang berlaku mulai tanggal 1 Januari 2025,” bunyi Pasal 7 Bab IV Ayat (1) Peraturan tersebut. Rabu (26/6). /2024). 

Sebelumnya, pemerintah menaikkan tarif PPN dari 10% menjadi 11% pada tahun 2022. Sementara dalam UU HES, pemerintah telah menetapkan tarif PPN ini bisa diubah minimal 5% dan maksimal 15%.

Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) “menekan” kebijakan pemerintahan Prabowo Subianto yang menaikkan PPN sebesar 12%. Dalam konferensi pers pada bulan Juni 2024, Menteri Keuangan Mullian mengungkapkan bahwa kebijakan tersebut bukan lagi domainnya. 

“[PPN 12%] Keputusan ini saya serahkan pada pemerintahan baru,” ujarnya dalam konferensi pers, seperti dikutip Rabu (26/6/2024). 

Menurut Muliani, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlanga Hartarto belum bisa memastikan pemerintah akan menaikkan tarif PPN menjadi 12% pada tahun 2025. 

“Lihat kondisi keuangan tahun depan,” kata Airlanga, Kamis (25/7/2024) di acara HUT Kementerian Perekonomian ke-58. 

Tak hanya pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga menunggu keputusan pemerintah saat ini dan pemerintahan Presiden terpilih Prabowo Subianto mengenai rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada tahun 2025.

Sebab, dengan nota moneter 2025 dan pembacaan RAPBN yang tinggal kurang dari sebulan lagi, belum jelas apakah suku bunga akan naik atau tidak. 

“Kita semua menunggu konsep pemerintahan baru [dengan PPN 12%],” kata Wakil Ketua Komisi XI DPR Dolphy Othniel Frederic Palit saat dihubungi Bisnis, Rabu (24/7/2024).

Seperti diketahui, salah satu janji pra-pilpres yang sangat optimistis dari Prabowo-Gibran adalah menaikkan rasio pajak terhadap PDB (tax rasio) menjadi 23%. Faktanya, tarif pajak Indonesia hanya akan mencapai 10,2% pada tahun 2023.

Untuk tahun depan, Kementerian Keuangan menetapkan tarif pajak pada kisaran 10,09% hingga 10,29% PDB.  “Untuk mencapai tarif pajak 23%, kami menunggu pemerintahan baru menjelaskan caranya,” tambah Dolph. 

Sekretaris Kementerian Koordinator Perekonomian Suciwijono Megiarso mengatakan, seluruh asumsi telah dijadikan dasar APBN 2025 dan pemerintah telah memperhitungkan berbagai faktor untuk APBN tahun depan termasuk kenaikan 12%. tarif PPN. 

“Pendapatan kita sudah kita hitung, target pendapatan, apa pun faktornya, sudah tercantum di sana,” jelasnya. 

Meski demikian, dia mengakui keputusan menaikkan tarif PPN menjadi 12% diserahkan kepada Prabowo Subianto. Ia berharap dengan dilantiknya Thomas Giwandono II sebagai Wakil Menteri Keuangan, ia bisa mengambil kebijakan tersebut, terutama di masa transisi pemerintahan. 

DPR dan pemerintah sepakat menetapkan pendapatan negara sebesar 12,3%-12,36% dari produk domestik bruto (PDB) pada APBN 2025 atau tahun pertama pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming. Target pendapatan tahun depan diperkirakan meningkat untuk mendanai program andalan Prabowo yakni makan siang gratis dengan anggaran Rp71 triliun.

Selain itu, Prabowo diperkirakan akan memenuhi janji-janji politik lainnya seperti membangun infrastruktur sekolah dan meningkatkan pertahanan. Karena narasi pemerintahan saat ini yang masih berjalan, Prabowo diminta melanjutkan mega proyek IKN Capital (IKN) yang digagas Presiden Jokowi. 

  Cukai rokok dan cukai plastik dan minuman manis 

Selain menaikkan PPN menjadi 12%, pemerintah juga tengah mengupayakan tarif cukai hasil tembakau atau rokok pada tahun depan.

Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan mengindikasikan harga rokok akan kembali naik mulai tahun depan. Harga rokok diperkirakan akan naik setelah pemerintah DPR RI menyetujui kenaikan cukai rokok pada tahun 2025. 

Seperti tahun-tahun sebelumnya, perubahan tarif CHT atau cukai rokok akan berdampak pada kenaikan harga rokok di tingkat eceran atau harga yang dibayar konsumen. Ascolan mengatakan, alasan pemerintah melakukan penyesuaian tarif CHT karena tarif cukai rokok multiyears akan berakhir pada akhir tahun 2024. 

Tak hanya cukai rokok, pemerintah juga memberlakukan aturan cukai plastik dan cukai minuman manis kemasan (BMDK). 

Direktur Komunikasi dan Bimbingan Konsumen, Pelayanan Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Nirwala Dwi Herianto mengatakan meski ada target penerimaan dalam APBN 2024, pemerintah sangat berhati-hati dalam menentukan itemnya. Sebagai barang kena cukai.

“Pemerintah sangat visioner dan sangat mempertimbangkan berbagai aspek seperti keadaan perekonomian masyarakat, nasional, industri, kesehatan, lingkungan hidup dan lain-lain. “Aspirasi DPR dan masyarakat umum akan kami dengarkan terkait hal ini,” ujarnya dalam siaran pers, Rabu (24/7/2024).

Pengaruhnya terhadap daya beli 

Kenaikan tarif PPN sebesar 12%, penyesuaian tarif cukai rokok dan penerapan cukai plastik dan MBDK akan berdampak langsung baik bagi produsen maupun konsumen. 

Di sisi bisnis, Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Indonesia (Apersi) menyatakan keprihatinannya atas rencana pemerintah menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% pada tahun depan.

Ketua DPP Jenderal Aparsi Junaid Abdila berharap wacana tersebut tidak terwujud. Hal ini diperlukan untuk menopang pertumbuhan pasar real estate nasional.

“[Kami berharap] pajak 12% tidak diterapkan,” kata Junaidi, Selasa (23/7/2024) dalam agenda Lokakarya Nasional Eppers.

Junaidi mengatakan, jika kebijakan PPN 12% terus berlanjut, pemerintah harus memberikan insentif agar pasar real estate Indonesia tetap berkembang. Junaid misalnya, berharap pemerintah bisa memperluas pemberian insentif bebas pajak atau pajak pertambahan nilai yang diberlakukan pemerintah (PPNDTP).

Pemerintah harus berhati-hati dalam mengambil keputusan, terutama terkait kenaikan tarif pajak dan cukai. Pasalnya, optimisme konsumen saat ini menunjukkan tanda-tanda melemahnya daya beli masyarakat. Berdasarkan data survei Bank Indonesia (BI), Indeks Keyakinan Konsumen Juni 2024 tercatat sebesar 123,3. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan IKK Mei 2024 sebesar 125,2 dan IKK April 2024 sebesar 127,7. 

Meski masih berada di zona optimis, kepercayaan konsumen mengalami penurunan dalam tiga bulan terakhir. Penurunan IKK pada April-Juni 2024 tidak lepas dari melemahnya Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) dan Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK).

Secara rinci, Optimisme Konsumen atau IKE pada kondisi saat ini mencapai 112,9 pada Juni 2024 atau menurun dari 115,4 pada Mei 2024 (m/m/mtm). Sementara itu, Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK), yang merupakan indikator prediksi kondisi perekonomian enam bulan ke depan dari sudut pandang konsumen, turun menjadi 133,8 pada Juni 2024 dari 135 pada Mei 2024. 

Hal ini tercermin dari perlambatan penjualan ritel dan lemahnya indeks kepercayaan konsumen yang terkait dengan rendahnya inflasi inti. Depresiasi Rupee pada Semester I/2024 berdampak pada daya beli masyarakat. Tarif PPN sebesar 12% dan kenaikan cukai yang dilakukan pemerintah akan menurunkan konsumsi masyarakat sehingga akan meningkatkan harga jual produk. 

Faisal mengingatkan pemerintah untuk tidak mengambil kebijakan yang merugikan daya beli masyarakat. Menurutnya, kondisi konsumsi dalam negeri di Indonesia saat ini sedang buruk. 

Ia mencontohkan, pertumbuhan konsumsi dalam negeri pada kuartal I 2024 hanya sebesar 4,91% (y/y). Bahkan, kata dia, pada periode ini terjadi dua peristiwa penting yang seharusnya mendongkrak konsumsi, yakni pemilu 2024 dan bulan Ramadhan. 

“Pemerintah dan pengusaha harus mengantisipasi angka konsumsi rumah tangga yang mungkin menurun pada kuartal berikutnya. Faktanya, pertumbuhan ekonomi kita mungkin di bawah 5%. “Ini dampak terburuknya,” kata Faisal. 

Lihat berita dan artikel lainnya di saluran Google Berita dan WA