Bisnis.com, JAKARTA – DPR meminta pemerintah mempertimbangkan kembali rencana kenaikan tarif tambahan pajak atau PPN menjadi 12% pada tahun depan karena ditengarai akan berdampak negatif terhadap perekonomian.

Wakil Ketua DPR Cucun Ahmad Syamsurijal khawatir kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) akan berdampak buruk bagi masyarakat secara keseluruhan. Menurut Cucun, setidaknya ada tiga alasan mengapa kenaikan PPN patut dipertimbangkan.

Pertama, kenaikan PPN akan meningkatkan harga barang/jasa. Alhasil, berdampak langsung pada daya beli masyarakat.

“Khususnya bagi kelompok tidak mampu dan membutuhkan, yang pengeluarannya terbatas. Ketika harga barang bagus, beban masyarakat bawah semakin berat,” jelas Cucun dalam keterangannya, Selasa (19/11/2024).

Sejalan dengan kenaikan harga produk dan jasa, maka biaya hidup juga akan meningkat. Ia mencontohkan, kenaikan pajak dari 10% menjadi 11% pada tahun 2022, meski pendapatan pemerintah meningkat, namun tingkat biaya hidup mencapai 5,51%.

Kedua, perekonomian global masih penuh ketidakpastian. Ketidakpastian global dan kenaikan PPN dapat memperlambat pertumbuhan perekonomian nasional. 

Ia mencontohkan: biaya produksi bagi pengusaha akan meningkat dengan meningkatnya kompensasi. Akibatnya persaingan di pasar internasional akan sangat berkurang, sehingga tidak ada investasi atau penciptaan lapangan kerja baru.

Sebab, kenaikan kompensasi akan berdampak negatif terhadap pendapatan perusahaan yang pada akhirnya berdampak pada penurunan upah para pekerja, ujarnya.

Ketiga, kenaikan tarif pajak dapat menurunkan kepatuhan pajak masyarakat. Akibatnya, hal tersebut tidak justru meningkatkan pendapatan pemerintah, malah sebaliknya.

Selain itu, Cucun tak menampik kenaikan tarif PPN sebesar 12% merupakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Standar Perpajakan (UU HPP). Namun, pemerintah mempunyai kewenangan untuk mengubah biaya perizinan sesuai dengan Undang-Undang Dasar (PP) Pemerintah.

Dalam pasal 7 ayat (3) UU HPP disebutkan bahwa PPN dapat diubah paling sedikit 5% dan paling banyak 15%. Untuk itu, dia menegaskan tarif PPN tetap di angka 11%.

“Masih ada kemungkinan untuk mengubah PPN sesuai aturan tersebut. Jika dampak kenaikan PPN pada tahun-tahun mendatang sangat besar, sebaiknya kita dorong pengurangannya,” kata Cucun.

Pernyataan Ketua Komisi XI DPR Misbakhun pun tak jauh berbeda. Diakuinya, DPR juga menyetujui kenaikan pajak menjadi 12% pada 1 Januari 2025 saat revisi UU HPP pada 2021.

Namun, lanjutnya, kondisi saat itu berbeda dengan saat ini. Kini, lanjutnya, terjadi penurunan daya beli masyarakat hingga jutaan masyarakat kelas menengah terjerumus ke dalam “kasta”.

“Jadi itu asumsinya? Jika pemerintah tidak mempertimbangkannya berarti pemerintah masih menganggap perekonomian masih stabil, perekonomian belum mempengaruhi daya beli masyarakat. Itu yang kami izinkan sepenuhnya. di tangan pemerintah. provinsi,” kata Misbakhun di kantor Bappenas, Jakarta Pusat, Selasa (19/11/2024).

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengisyaratkan tidak akan ada penundaan dalam penerapan kenaikan tarif PPN menjadi 12%.

Ia membenarkan pasal 7 ayat 1 UU No. 7/2021 memerintahkan PPN harus naik menjadi 12% pada 1 Januari 2025.

“Kita perlu mempersiapkannya untuk melaksanakannya, tapi dengan informasi yang baik,” kata Sri Mulyani bekerja sama dengan Komisi XI DPR, Rabu (13/11/2024).

Lihat berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel