Bisnis.com, JAKARTA – PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. (GIAA) melihat dinamika keuntungan dan kerugian finansial selama pandemi Covid-19 selama lima tahun terakhir akibat meningkatnya utang. Harga saham GIAA terus merosot di tengah tekanan terhadap kinerja keuangan.

Sebelum pandemi Covid-19 atau sepanjang tahun 2019, GIAA mencatatkan laba bersih yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk sebesar $6,98 juta, merupakan pembalikan dari kerugian sebesar $231,15 juta pada tahun 2018.

Namun pada tahun 2020 terjadi pandemi Covid-19. Garuda Indonesia dibebani kerugian berturut-turut pada 2020-2021.

Pada tahun 2020, perusahaan kehilangan $2,47 miliar. Kerugian tersebut disebabkan oleh ketidakmampuan mengimbangi pertumbuhan pendapatan akibat pandemi Covid-19. GIAA memiliki pendapatan sebesar $1,49 miliar pada tahun 2020 dengan pengeluaran sebesar $3,3 miliar.

Pada tahun 2021, kerugian GIAA mencapai $4,14 miliar. Pada saat itu, pendapatan GIAA adalah $1,33 miliar dengan pengeluaran $2,6 miliar.

Pada tahun 2022 saja, perusahaan akan menghasilkan pendapatan bersih sebesar $3,73 miliar. Lonjakan ini sebagian disebabkan oleh keuntungan restrukturisasi utang sebesar $2,85 miliar.

Perubahan tersebut berdasarkan keputusan homologi pada 27 Juni 2022. Pada periode tersebut, GIAA mendapat dana Rp7,5 triliun dan Rp725 miliar yang berasal dari penyertaan modal masyarakat (PMN) dan PPA. Pada tahun 2022, GIAA berencana mengurangi utang komersial sebesar 75%.

GIAA kemudian membukukan laba bersih sebesar $250,04 juta pada tahun 2023. Pendapatan ini meningkat 39,83% (dibandingkan tahun lalu) menjadi $2,93 miliar dengan beban $2,62 miliar.

Tahun ini, berdasarkan laporan keuangan Q3/2024, GIAA masih membukukan rugi bersih sebesar $131,22 juta.

Namun Irfan Setiaputra, Direktur Garuda Indonesia, mengatakan pada Oktober 2024, GIAA bisa menghasilkan $18,11 juta atau sekitar $283,81 miliar.

Irfan menjelaskan, keuntungan tersebut dihasilkan dari perubahan penerapan Standar Akuntansi Keuangan (FSAS) 73 menjadi PSAK 107.

PSAK 73 merupakan laporan akuntansi yang memasukkan transaksi sewa ke dalam beban usaha. Sedangkan PSAK 107 merupakan standar akuntansi sewa yang digunakan dalam pembiayaan oleh bank syariah dan lembaga keuangan lainnya.

Sementara itu, GIAA berhasil mendapatkan 10% dari total jumlah pesawat sewaan yang disetujui untuk dimasukkan dalam skema sewa.

“Oktober tahun lalu sudah kita sepakati 10%. Jadi kita bisa segera melaporkan [laba bersih] yang positif,” kata Irfan.

Menurut dia, skema sewa yang dilakukan tersebut mengubah rekor menjadi PSAK 107 dan berharap solvabilitasnya dapat ditingkatkan ke depannya. “Kami juga berharap dapat meningkatkan kapitalisasi pasar,” kata Irfan.

Pergerakan saham GIAA

Sejalan dengan dinamika laba rugi, emiten penerbangan pelat merah ini mengalami kenaikan harga saham dalam lima tahun terakhir.

Saham GIAA menyentuh Rp 457 per saham pada penutupan perdagangan akhir tahun 2019. Namun saham GIAA terus merosot hingga di bawah Rp 48 per saham pada tahun ini.

Secara historis, harga saham GIAA ditutup pada Rp457 pada tahun 2019, kemudian turun selama setahun pada tahun 2020 hingga ditutup pada Rp369.

Kemudian pada tahun 2021, saham GIAA turun menjadi Rp 204 di akhir tahun. Pada tahun 2022, saham GIAA akan disuspensi karena kewajiban pembayaran utang (PKPU).

Sedangkan pada akhir tahun 2023, saham GIAA ditutup pada harga Rp 69 per saham. Saat ini GIAA mendapat predikat khusus E dan X dari Bursa Efek Indonesia (BEI). Catatan khusus E diubah karena GIAA memiliki ekuitas negatif pada laporan keuangan Q3/2024.

Sedangkan GIAA mendapat tanda X khusus karena ditampilkan di dashboard khusus.

Sedangkan saham GIAA turun 3,39% ke Rp 57 per saham pada perdagangan Kamis (14/11/2024). Harga saham GIAA sendiri selama setahun terakhir (YT/YT) sudah anjlok 17,39%.

Sebelumnya, Analis Kiwoom Securitas Vicky Rosalinda menjelaskan GIAA masih menghadapi tantangan kinerja keuangan akibat kenaikan biaya layanan penumpang dan kendaraan.

“Kami kini melihat GIAA membangun kembali bisnisnya dengan sejumlah strategi, antara lain fokus pada rute domestik dan pemilihan rute internasional, serta optimalisasi armada,” kata Bisnis bulan lalu (3/10/2024).

_______

Harap diperhatikan: laporan ini tidak dimaksudkan untuk membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab atas segala kerugian atau keuntungan yang diakibatkan oleh keputusan investasi pembaca.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA