Bisnis.com, JAKARTA – Kehadiran produk mobil listrik asal China seperti BYD, Great Wall Motors (GWM) dan Neta, serta iming-iming insentif pembebasan bea masuk dan pajak penjualan barang mewah (PPnBM), tampak seperti double- pedang bermata. Indonesia memerlukan lebih banyak investasi untuk mengembangkan mobil listrik, namun juga perlu memperkuat industri otomotif yang sudah ada.

Situasi ini juga dirasakan oleh banyak negara yang menghadapi ekspansi produk mobil listrik China. Sebut saja Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE) yang juga merupakan pasar terbesar bagi raksasa otomotif dan mobil listrik.

Amerika Serikat dan Eropa menuduh Tiongkok mensubsidi produk mobil listrik melalui listrik negara sehingga merugikan pasar. Mereka juga menduga rantai pasokan produsen baterai dan mobil listrik di China juga tidak kebal dari kerusakan lingkungan.

Di sisi lain, produsen mobil listrik asal China, khususnya BYD, perlahan mulai menguasai pasar mobil listrik global. Faktanya, BYD telah melampaui Tesla sebagai pemain terbesar di dunia.

Hal lainnya, selama ini produsen mobil listrik China menghindari pendirian pabrik langsung di AS. BYD, misalnya, memilih mendirikan basis manufaktur di Meksiko namun menyasar pasar mobil listrik yang besar di Amerika Utara.

Isu mobil listrik China juga menjadi perbincangan di kancah politik. Menurut Reuters, anggota parlemen AS menuntut pemerintahan yang dipimpin oleh Joe Biden memblokir semua produk mobil listrik dari pabrikan Tiongkok.

Selain menyerukan pelarangan mobil Tiongkok di pasar AS, Ketua Komite Perbankan Senat Sherrod Brown meminta Presiden Joe Biden untuk memperlakukan semua produk mobil listrik yang diproduksi oleh anak perusahaan atau perusahaan yang berafiliasi dengan Tiongkok secara setara.

“Kendaraan listrik Tiongkok merupakan ancaman nyata bagi industri otomotif Amerika,” kata Brown, menurut Reuters.

Banyak pabrikan Amerika dan Eropa yang menarik diri dari perlombaan pengembangan mobil listrik. Mereka kalah bersaing dengan fleksibilitas produk mobil listrik China.

Produsen seperti GM dan Ford Motor telah kehilangan miliaran dolar untuk unit mobil listrik dan masih harus menghadapi reaksi konsumen terhadap tingginya harga kendaraan. Meskipun mereka masih bergantung pada teknologi, bahan mentah, dan komponen Tiongkok, mereka berjuang untuk membangun rantai pasokan mereka sendiri dan mengurangi biaya.

Di sisi lain, keberadaan BYD Cs. Indonesia sedang mencari angin segar untuk pengembangan mobil listrik. Indonesia masih perlu meningkatkan populasi mobil listriknya; Menawarkan berbagai model dengan harga terjangkau adalah satu-satunya langkah realistis.

Setelah BYD, kehadiran Neta dan GWM turut merevitalisasi pasar mobil listrik Tanah Air. Namun gejala yang sama perlu diwaspadai karena pabrikan mobil listrik asal China ini sudah terlebih dahulu mendirikan fasilitas produksi di Thailand.

Menurut Nikkei Asia, Liu Xueliang, General Manager Divisi Penjualan Otomotif Asia-Pasifik BYD, mengatakan Thailand memiliki fondasi yang kuat dalam industri otomotif dengan kapasitas produksi yang sangat matang.

Oleh karena itu, setelah mempertimbangkan secara matang, kami memutuskan untuk mendirikan pabrik di sini, ujarnya.

BYD Inc. juga WHA Corp., pengembang real estate industri terbesar di Thailand. menandatangani perjanjian jual beli tanah dengan. Pabrik pertama di Asia Tenggara diharapkan mulai beroperasi pada tahun 2024 dengan kapasitas produksi tahunan sebesar 150.000 unit.

Sedangkan data investasi Kementerian Investasi/BKPM memuat investasi BYD C di industri otomotif. masih relatif minim. Investasi Tiongkok di sektor otomotif pada tahun 2023 hanya setara US$3,69 juta atau Rp57,96 miliar (dengan asumsi kurs jisdor Rp15.688 per Dolar AS). INDUSTRI OTOMOTIF NASIONAL

Tauhid Ahmad, Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), menilai investasi dari Tiongkok tidak boleh terbatas pada perdagangan, melainkan pada pengembangan industri otomotif nasional di pasar otomotif global.

Menurutnya, kehadiran produk China di dalam negeri juga harus diwaspadai agar tidak menurunkan daya saing produk dalam negeri. Selain itu, keberadaan impor dari Tiongkok yang relatif murah juga berpotensi melemahkan pelaku UKM secara bertahap.

Jika kemampuan industri lokal tidak dikembangkan, pada akhirnya Indonesia hanya akan menjadi pasar ekspansi negara asing seperti Tiongkok. Orientasi basis produksi artinya harus ada keterlibatan tenaga kerja, produk serta tenaga ahli yang memberikan nilai tambah bagi Indonesia.

Selain itu, mineral seperti nikel tidak hanya boleh digunakan pada produk bertenaga baterai saja, tapi juga harus digunakan dalam bentuk mobil listrik yang bisa diekspor ke luar negeri.

“Kita harus sadar bahwa ketergantungan terhadap China ini akan menurunkan daya saing produk dalam negeri,” ujarnya kepada Bisnis, Kamis (18/4/2024). untuk bersaing di pasar lokal dan global.” “Tidak,” katanya.

Lihat berita dan artikel lainnya di Google News dan saluran WA