Bisnis.com, JAKARTA — Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia mengalami deflasi bulanan berturut-turut selama empat bulan terakhir mulai Mei 2024, menyusul fenomena serupa yang terakhir terjadi pasca krisis mata uang tahun 1998.

Pudji Ismartini, Deputi Statistik Distribusi dan Jasa BPS, mengatakan fenomena deflasi bukanlah hal baru karena telah terjadi selama tujuh bulan berturut-turut pada tahun 1999 pasca krisis keuangan tahun 1998. 

“Sejak Maret 1999 hingga September 1999. Ini akibat nilai tukar terdepresiasi dan turunnya harga berbagai jenis barang,” ujarnya dalam jumpa pers, Senin (02/09/2024). 

Berdasarkan data historis BPS, Indeks Harga Konsumen (IHK) pada periode tersebut mengalami deflasi di atas 1%. 

Tidak hanya pada periode tersebut, krisis keuangan global pada bulan Desember 2008 dan Januari 2009 juga terjadi, BPS mengalami deflasi akibat turunnya harga minyak dunia dan melemahnya permintaan dalam negeri. 

Belakangan ini, terkait Covid-19, BPS juga mengamati tren serupa yang terjadi selama tiga bulan berturut-turut. Deflasi bulanan masing-masing sebesar 0,1%, 0,05% dan 0,05% pada bulan Juli, Agustus, dan September 2020. 

Tahun ini, mulai Mei 2024, deflasi dimulai sebesar 0,03% (mom/MtM). Deflasi kemudian terus semakin dalam hingga 0,08% pada Juni 2024 dan semakin dalam yakni 0,18% pada Juli 2024. 

Pada bulan Agustus, IHK masih mengalami deflasi sebesar 0,03% (MtM), yang sebagian besar disebabkan oleh pasokan. Turunnya harga pangan, seperti tanaman pangan, produk hortikultura dan peternakan, juga berkontribusi terhadap deflasi; karena biaya produksi dan harga konsumen mengalami penurunan. 

“Hal ini juga disebabkan karena panen melimpah, pasokan juga banyak sehingga harga pun turun,” kata Pudji. Kekhawatiran tidak tercapainya target pertumbuhan ekonomi

Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center for Economic and Legal Studies (Celios), mengatakan tingkat deflasi yang terjadi selama empat bulan terakhir merupakan sinyal perekonomian sedang menghadapi soft landing. 

Bhima menuturkan, rendahnya tingkat inflasi atau tercatat deflasi bukanlah indikator perekonomian yang baik di negara berkembang yang berpenduduk 47,8 juta jiwa tersebut berada di kelas menengah. 

Padahal, hal ini menjadi pertanda konsumsi rumah tangga yang menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi Indonesia tampak stagnan. 

“Negara-negara berkembang yang mengalami deflasi menunjukkan konsumsi rumah tangga yang melemah,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (2/9/2024).

Selain itu, deflasi juga memberi sinyal sulitnya pertumbuhan ekonomi melebihi 5%. Bahkan ada tanda-tanda resesi atau perlambatan ekonomi dalam beberapa bulan ke depan. 

Namun Bhima mengatakan, resesi tidak serta merta mengakibatkan krisis ekonomi yang bersifat hard landing seperti tahun 1998. Dalam hal ini, terlihat situasi perekonomian yang mengalami soft landing namun terus tumbuh dan melambat. 

Secara keseluruhan, lemahnya tekanan inflasi sisi permintaan dan rendahnya harga pangan menjadi pendorong utama deflasi sebesar 0,03% (MtM) pada Agustus 2024. 

Topik hangat saat ini mengenai menyusutnya kelas menengah juga berkontribusi terhadap kinerja indeks harga konsumen (CPI). 

“Menyusutnya kelas menengah berarti rendahnya inflasi yang didorong oleh permintaan. Masyarakat menunda belanja barang sekunder dan tersier karena harga kebutuhan pokok tidak bisa diimbangi dengan peningkatan pendapatan,” kata Bhima. 

Faktanya, Indonesia sedang berjuang untuk mencapai tujuan ekonomi yang lebih tinggi. Tahun ini saja, pemerintah mematok pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2%. Tahun depan, perekonomian diperkirakan tumbuh antara 5,1% hingga 5,5% di bawah pemerintahan Prabowo-Gibran. 

Sementara itu, organisasi internasional seperti Dana Moneter Internasional (IMF) justru memperkirakan perekonomian Indonesia akan stabil pada angka 5,1% pada tahun 2029. 

Pertumbuhan ekonomi didukung oleh peningkatan konsumsi masyarakat dan investasi, sehingga menghilangkan hambatan ekspor neto akibat tekanan eksternal.

Inflasi IHK juga diperkirakan akan tetap stabil di tengah kisaran sasaran pemerintah.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel