Bisnis.com, Jakarta – Pada Mei dan Juni 2024, indeks harga konsumen (IHK) dalam negeri mengalami deflasi selama dua bulan berturut-turut.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat IHK mengalami deflasi bulanan sebesar -0,08% (mo/m) pada Juni 2024, lebih dalam dibandingkan deflasi bulanan -0,03% pada Mei 2024.
Deflasi Juni 2024 lebih dalam dibandingkan deflasi Mei 2024 dan merupakan deflasi kedua pada tahun 2024, kata Sekretaris Jenderal Badan Statistik Nasional Imam Mahdi dalam konferensi pers, Senin (7 Januari 2024).
Berdasarkan komponen tersebut, Imam mengatakan deflasi pada Juni 2024 didorong oleh deflasi pada komponen volatil food (-0,98% secara bulanan).
Pada periode yang sama, harga suku cadang pokok dan harga yang dikelola pemerintah masing-masing meningkat sebesar 0,10% dan 0,12% dibandingkan bulan sebelumnya.
Sementara itu, Deputi Statistik Produksi BPS M. Habibullah mengatakan deflasi yang terjadi selama dua bulan berturut-turut pada Mei dan Juni 2024 terutama disebabkan oleh fluktuasi faktor harga.
Oleh karena itu, deflasi pada Juni 2024 didorong oleh pasokan, sedangkan pasokan meningkat karena musim panen pada bulan April dan Mei 2024.
“Padahal kalau kita lihat produk-produk volatil food cenderung fluktuatif. Jadi [deflasi] didorong oleh pasokan, panen menyebabkan harga turun, sehingga terjadi deflasi,” jelasnya.
Habibullah menjelaskan, daya beli masyarakat dapat diukur melalui beberapa indikator, salah satunya adalah tren pergerakan penduduk saat hari raya yang akan tercermin pada data inflasi Juli mendatang.
“Akhir Juni hingga pertengahan Juli ini akan ada libur sekolah, jadi kita lihat apakah indikator perjalanan wisatawan meningkat pada versi BPS mendatang,” ujarnya.
Ekonom Bank Indonesia Hosianna Evalita Situmorang mengatakan, perkembangan IHK pada Juni 2024 terutama disebabkan oleh masih adanya penurunan deflasi pada kelompok volafile food, meski daya beli masyarakat mulai menunjukkan pelemahan.
“Hal ini bisa disebabkan oleh banyak faktor, antara lain musim panen, pasokan, dan kebijakan harga pemerintah. Terutama HET (harga eceran tertinggi) beras sejak 24 Juni,” jelasnya.
Ia mengatakan, kita harus tetap mewaspadai tekanan inflasi ke depan, terutama potensi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan tren pelemahan rupee.
Namun, ia mengatakan karena harga dan persediaan minyak dunia tidak berubah, maka inflasi akan tetap terkendali meskipun terjadi inflasi impor atau inflasi barang impor, terutama pangan.
“Kalaupun pemerintah harus melakukan impor, dampak inflasi bahan pokok tidak akan sebesar kenaikan harga BBM sehingga inflasi akan tetap terkendali,” kata Hosianna.
Lihat berita dan artikel lainnya di Google News dan WA channel