Bisnis.com, BALIKPAPA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai menurunnya daya beli masyarakat berdampak pada peningkatan permintaan kredit.

Kepala Eksekutif Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen OJK Friederika Vidyasari Devi mengatakan, kondisi perekonomian yang sulit membuat masyarakat sering beralih ke pinjaman sebagai solusi jangka pendek. Apalagi, para penipu pun memanfaatkan situasi sulit ini.

“Iya, kemarin misalnya banyak yang PHK. Meskipun jumlahnya masih kontroversial, ya, ada banyak metode yang menawarkan hasil. Jadi ada orang jatuh dari tangga, kata Friederica di Like It di Pentacity & E-Walk Mall Balikpapan, Sabtu (10 Mei 2024). 

Menurutnya, salah satu cara penipuan yang paling umum adalah tawaran kerja paruh waktu dengan janji pembayaran lebih awal. Namun setelah menerima sejumlah uang awal, korban diminta menambah uang lagi atau “top up”. 

Terlebih lagi, pada fenomena saat ini, berdasarkan data pinjaman dari platform peer-to-peer (P2P) lending, pertumbuhan lebih banyak terjadi pada pinjaman konsumer dibandingkan pinjaman produktif.

“Bahkan kami mendorong dia untuk produktif [daripada konsumeris]. Jadi, hal ini patut diwaspadai, agar masyarakat tidak terjerumus ke dalam utang yang semakin banyak. “Kalau ada masalah, mereka tidak punya penghasilan, malah mengajukan pinjaman,” ujarnya.

Sebaliknya, Kiki mengatakan, jika seseorang sudah mengambil pinjaman yang sah dan kesulitan melakukan pembayaran, ia tetap bisa mengajukan manfaat restrukturisasi seperti penangguhan bunga atau pokok.

Padahal, berbahaya jika masyarakat terjerumus ke dalam perangkap pinjol ilegal. Pasalnya, para rentenir ilegal kerap menggunakan cara penagihan yang tidak manusiawi, termasuk ancaman dan penghinaan terhadap konsumen, untuk memaksa mereka membayar utangnya.

Sebelumnya, Pusat Reformasi Ekonomi (Core) menilai deflasi lima bulan terakhir disebabkan oleh menurunnya daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah. 

Chief Executive Officer Mohammad Faisal mengatakan deflasi berbulan-bulan hanya terjadi saat terjadi krisis atau kondisi perekonomian buruk. Bulan-bulan deflasi, lanjutnya, merupakan sebuah anomali mengingat tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih di atas 5%. 

“Deflasi selama lima bulan berturut-turut, menurut saya, mengkhawatirkan karena dalam keadaan normal hal ini tidak akan terjadi dengan tingkat pertumbuhan Indonesia (5%),” kata Faisal kepada Bisnis, Selasa (10 Jan 2024). 

Sementara itu, Badan Pusat Statistik mencatat inflasi dalam lima bulan terakhir: Mei (0,03%), Juni (0,08%), Juli (0,18%), Agustus (0,03%) dan September (0,03%): 12%) . . . 

Dia menjelaskan, deflasi sebenarnya terjadi karena lemahnya tingkat permintaan. Dalam konteks situasi di Indonesia saat ini, ia menilai pendapatan masyarakat semakin menurun. 

Menurut dia, pendapatan masyarakat kini lebih rendah dibandingkan sebelum pandemi. Selain itu, banyak orang yang tidak bisa kembali bekerja setelah terkena PHK selama pandemi. 

“Hal ini berdampak pada tingkat belanja mereka sehingga belanjanya relatif rendah, terutama bagi masyarakat menengah ke bawah,” jelas Faisal. 

Ia juga mengingatkan bahwa kelas menengah merupakan mesin utama pertumbuhan ekonomi, apalagi kelompok masyarakat ini mempunyai tingkat konsumsi tertinggi. Sementara itu, konsumsi rumah tangga menjadi penyumbang terbesar terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia. 

Oleh karena itu, jika konsumsi kelas menengah melemah, maka perekonomian tidak akan bergerak searah dengan melemahnya sektor manufaktur dan jasa. 

“Ini adalah sesuatu yang harus dirayakan. Artinya kita perlu menyikapi kondisi ini secara tepat dengan mendorong tidak hanya pelonggaran moneter tetapi juga kebijakan stimulus fiskal dan sektor riil,” kata Faisal.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel.