Bisnis.com, JAKARTA – Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan mendapat perhatian dan kritikan masyarakat dalam beberapa pekan terakhir.
Fajri Akbar, Kepala Pusat Analisis Perpajakan Indonesia, mengatakan belakangan ini DJBC banyak memberikan permasalahan kepada masyarakat terkait tata cara impor, baik barang yang akan diangkut, barang yang akan dikirim, bahkan barang. diserahkan
Meningkatnya jumlah kritik telah memicu meningkatnya sikap negatif terhadap bea dan cukai.
Menurut dia, Kementerian Keuangan harus meningkatkan kepercayaan masyarakat, mengingat Otoritas Bea Cukai berperan besar dalam arus barang antara pemerintah dan perekonomian.
Dalam hal ini, kata Fairey, Bea dan Cukai harus memperkuat sosialisasi di masyarakat dengan memberikan informasi detail mengenai peraturan yang berlaku.
“Pada dasarnya pelayanannya perlu ditingkatkan, apalagi informasinya harus lebih banyak. Selain itu, banyak masyarakat yang memesan barang dari luar negeri berkat sistem digital,” ujarnya, Jumat (10/5/2024).
Pada saat yang sama, Fairey juga perlu melakukan perubahan nyata di bidang kepabeanan dan cukai, yang memerlukan evaluasi peraturan atau kebijakan.
“Salah satu permasalahan paling umum yang dihadapi masyarakat adalah terkait kebutuhan fasilitas.” “Juga dengan kondisi terkait beberapa pembatasan [Lartas], perlu ditentukan best practice,” jelasnya.
Bea dan Cukai juga harus menilai besaran dan batasan cukai. Sebab, bea masuk dan pembatasan bea masuk (PDRI) tidak sebanding dengan nilai impor.
“Jika menyangkut sanksi, penting untuk mengubah persepsi bahwa sanksi yang besar akan membuat orang menjauh.” Kedua, penting untuk mengkaji pajak-pajak yang terkait dengan PDRI, terutama besaran Pajak PPh 22 Impor yang meningkat signifikan selama satu dekade terakhir. serta tarif pajak beberapa produk yang meningkat dalam beberapa hari terakhir,” kata Fairey.
Kemudian, perlu adanya koordinasi antar Kementerian dan Lembaga (K/L), karena kondisi barang ekspor tidak hanya menjadi domain otoritas pabean saja, tetapi juga K/L seperti Kementerian Perdagangan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan. (Dari Badan POM).
Evaluasi terhadap aturan tersebut sebaiknya melibatkan kementerian/lembaga lain, termasuk sosialisasi agar seluruh masyarakat tidak terbebani oleh pihak bea cukai, apalagi jika kebijakan tersebut tidak berasal dari Kementerian Keuangan.
Di sisi lain, Fairey menilai kritik masyarakat juga harus berimbang. Bea dan Cukai merupakan institusi penting dan tidak boleh ditutup.
“Warga salah kaprah jika melihat pihak bea cukai hanya sebagai penghimpun pendapatan, yakni meningkatkan pendapatan negara,” ujarnya.
Ia menjelaskan, otoritas bea cukai mempunyai tiga tugas utama lainnya, pertama, memfasilitasi bisnis yang bertujuan untuk mengurangi biaya perdagangan internasional agar kompetitif secara ekonomi.
Kedua, dukungan industri berupa dukungan kepada industri lokal untuk bersaing di pasar internasional. Misalnya saja Kemudahan Impor Untuk Keperluan Ekspor (KITE) yang mengecualikan PDRI bagi usaha yang berbasis ekspor.
Ketiga, sebagai pengayom masyarakat, melindungi masyarakat dari zat-zat terlarang seperti narkoba.
Fairey juga mencatat, sejak masa perdagangan bebas, pendapatan bea cukai belum menjadi sumber pendapatan utama DJBC.
Mengacu APBN 2024, kontribusi penerimaan kepabeanan terhadap pajak sebesar 3,24%. Bagi hasil kepabeanan DJBC sendiri sebesar 23,34% dan sisanya penerimaan pajak,” jelasnya.
Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA