Bisnis.com, JAKARTA – Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) merekomendasikan pemerintah merevisi peraturan pemerintah yang mengatur besaran iuran program Jaminan Kematian di Tempat Kerja (JKM) BPJS.
Anggota DJSN Indra Budi mengatakan, hal ini diperlukan untuk menghemat dana yang dikelola program JKM yang berisiko menghadapi peningkatan permintaan. Bahkan, pada tahun 2026, rasio kebutuhan JKM diperkirakan mencapai 100%.
Saat ini, total manfaat program JKM mencapai Rp42 juta, meliputi santunan kematian sebesar Rp20 juta, biaya pemakaman sebesar Rp10 juta, dan santunan berkala 24 bulan yang dibayarkan sekaligus sebesar Rp12 juta.
Selain itu, terdapat manfaat berupa beasiswa pendidikan dengan limit Rp 174 juta untuk maksimal dua orang anak. Manfaat beasiswa ini diberikan kepada anggota dengan masa iuran minimal tiga tahun yang meninggal dunia karena kecelakaan kerja atau penyakit karena kecelakaan.
Indra menilai besarnya permintaan tersebut tidak sebanding dengan iuran JKM yang diterima BPJS Ketenagakerjaan.
“Jadi iurannya juga terlalu kecil dan untuk PBPU [Anggota Non Gaji] tetap. JKK [Asuransi Kecelakaan Kerja] dan JHT [Asuransi Hari Tua] untuk PBPU dilakukan sebagai skala pendapatan,” kata Indra kepada Bisnis, Selasa (. 09.03.2024).
Berdasarkan PB Nomor 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian, iuran JKM untuk PBPU sebesar Rp 6.800 per bulan, dan untuk anggota penerima gaji sebesar Rp 0 (3% dari gaji bulanan).
Indra mengatakan, aturan tersebut sebenarnya sudah dua kali direvisi. Yang pertama diubah dengan PP Nomor 82 Tahun 2019. Revisi kedua ini mengatur kenaikan besaran manfaat program JKM. yaitu Rp 42 juta dan beasiswa Rp 174 juta.
Edisi ketiga PP No. 49/2023 yang mengatur kepesertaan JKK dan JKM dari segmen PNS non-ASN.
Jadi, aturan pembayaran dan iurannya tetap sama. Jadi harus ada perubahan ketiga, kata Indra.
Dia mengusulkan, perubahan tinjauan ketiga bisa mengatur pemberian manfaat JKM secara berkala sebesar Rp42 juta, serta mengatur besaran iurannya. Hal ini diperlukan untuk menjaga keseimbangan jumlah iuran yang diterima untuk pembayaran klaim tertutup.
Menurut Indra, urgensi revisi PP ini sudah dibicarakan dengan Kementerian Ketenagakerjaan bersama Kementerian BPJS Ketenagakerjaan. Dalam pengembangan perangkat lunak ini, dia menjelaskan Kementerian Ketenagakerjaan dapat merekomendasikan Presiden untuk memulai izinnya.
Namun Indra belum mengetahui sejauh mana pembahasan revisi PP tersebut. “Posisinya di surat resmi belum disampaikan, tapi saat kita diskusi, Kementerian Ketenagakerjaan bersama BPJS Ketenagakerjaan. Seharusnya Kementerian Ketenagakerjaan aktif,” jelasnya.
JKM BPJS Risiko kekurangan belanja akibat naiknya Dana Ketenagakerjaan tanpa iuran pendapatan sudah lama menjadi perhatian DJSN. Dengan nasib revisi PP yang masih belum pasti, Indra berharap ini menjadi ujian tersendiri bagi pemerintahan baru Probov-Gibran.
“DJSN nantinya bisa menginstruksikan Kementerian Ketenagakerjaan yang baru untuk segera menerapkan PP 44 yang mengatur JKM revisi ketiga agar tidak terjadi kelangkaan di kemudian hari,” ujarnya.
Lihat berita dan artikel lainnya di Google News dan WA