Bisnis.com, JAKARTA – Peneliti menyarankan pemerintah tidak melarang impor pangan untuk mencegah praktik penyelundupan yang dapat merugikan negara. Ia mengatakan, kebutuhan dalam negeri Indonesia, termasuk swasembada pangan, harus diperhatikan.
Arianto Panturu, peneliti proyek dari Australian National University (ANU), Indonesia, mengatakan pemerintah harus mempertimbangkan kebijakan pembatasan impor secara selektif, sejalan dengan cita-cita Indonesia untuk memenuhi kebutuhan atau swasembada dalam negeri, termasuk swasembada pangan.
“Pembatasan boleh saja, tapi harus dilihat kasus per kasus. “Kami tidak mau swasembada, tidak bisa [impor],” kata Arianto saat ditemui Bisnis di Jakarta, Rabu (13/11/2024).
Arianto mengatakan, pemerintah bisa mengambil kebijakan untuk mengurangi jumlah impor dengan mengenakan tarif atau pajak impor. Dengan begitu akan ada pemasukan bagi negara.
“Tapi kalau dilarang, masih bisa masuk melalui penyelundupan,” jelasnya.
Misalnya, kata dia, pembatasan impor bisa berdampak buruk pada masyarakat yang mengalami masalah gizi. Apalagi, ada empat permasalahan kesehatan yang banyak terjadi di Indonesia, yakni gizi buruk, stunting, wasting, dan obesitas.
“Penelitian saya menunjukkan hal itu dapat merugikan orang lain yang membutuhkan pangan yang tidak dapat diproduksi di dalam negeri. Jadi harus impor,” ujarnya.
Penelitian ini mengikuti jejak Giuntella (2020) yang meneliti impor pangan dan obesitas di Meksiko. Mereka menemukan bahwa paparan makanan impor dari AS dapat menjelaskan hingga 20% peningkatan prevalensi obesitas di kalangan perempuan Meksiko antara tahun 1988 dan 2012.
Namun untuk studi di Indonesia, lanjutnya, arus impor didistribusikan ke tingkat subnasional dengan menggunakan variabel eksposur shift-share dan penurunan perubahan BMI terhadap perubahan impor pangan di tingkat provinsi.
Dalam hal impor pangan, ANU Indonesia mengamati dua puluh produk pangan (yang mencakup sekitar 50% impor pangan Indonesia) dari tahun 2005, 2008, 2012 dan 2017 dari FAO.
Sementara itu, penelitian ini juga mengkonversi impor menjadi setara kalori dengan menggunakan informasi dari FAO (persediaan pangan dalam kkal, pasokan pangan dalam kg/kapita/tahun dan jumlah penduduk).
Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel