Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Konsumen Indonesia (Apindo) menilai penurunan saham asing atau cadev hingga April 2024 tidak terlalu menjadi perhatian karena pengelolaan uang yang baik.

Sementara Bank Indonesia (BI) mencatatkan cadangan devisa Indonesia pada akhir April 2024 sebesar 136,2 miliar dollar AS atau setara 2.189,9 triliun (kurs Rp 16.078 per dollar AS).

Posisi tersebut kembali turun sebesar 4,2 miliar USD atau 67,5 juta franc Rwanda dibandingkan bulan sebelumnya yang tercatat sebesar 140,4 miliar USD.

Presiden Jenderal Apindo Shinta W. Kamdani mengatakan, meski pengurangan tersebut sangat menyedihkan, namun menurutnya uang yang dikeluarkan pemerintah selama ini digunakan secara produktif.

Sebab, nilai tukar yang digunakan dalam beberapa bulan terakhir berupa pembayaran utang luar negeri dan operasi mata uang untuk menjaga stabilitas nilai tukar.

Pada Kamis (9), Shinta mengatakan kepada Bisnis, “Kami menilai situasi ini tidak perlu terlalu mengkhawatirkan, karena tingkat beban utang negara dan kebutuhan akan ketahanan perekonomian yang stabil masih baik, berkelanjutan, dan bijaksana.” / 5/2024).

Menurut dia, nilai tukarnya juga cukup baik sehingga tidak perlu khawatir mata uang tersebut dibelanjakan untuk hal-hal yang tidak perlu.

Meski demikian, Shinta menilai pemerintah harus mempercepat kegiatan dunia usaha agar bisa menghasilkan devisa lebih banyak, terutama dari sisi ekspor dan penanaman modal asing (FDI). Hal ini dikarenakan lingkungan geopolitik dan pasar global memiliki tingkat ketidakpastian dan volatilitas yang tinggi.

Ia menjelaskan: “Untuk itu, pemerintah harus benar-benar fokus pada peningkatan proses ekspor dan investasi, serta mempercepat reformasi lingkungan bisnis, terutama implementasi kebijakan reformasi yang ada di bidang ini”. .

Di sisi lain, ia juga menegaskan penerapan kebijakan penanaman modal asing (DHE) sumber daya alam disebut-sebut mampu menaikkan nilai tukar pada 1-3 bulan pertama saja.

Menurut Shinta, setelah itu mata uang tidak akan bisa menguat atau stagnan karena aktivitas ekspor yang merupakan sumber utama DHE akan melemah akibat pemberlakuan kebijakan DHE.

Selain itu, banyak importir yang menentang kebijakan DHE karena dianggap mengganggu produktivitas ekspor sehingga berdampak buruk pada arus kas sehingga mengakibatkan defisit fiskal atau rendahnya pendapatan ekspor.

“Saat perusahaan eksportir mengalami kerugian, mereka harus melakukan pinjaman dalam negeri dengan suku bunga yang tidak kompetitif dengan harga DHE yang mereka miliki dan sebagainya,” ujarnya.

Akibatnya, kebijakan ini akan berdampak jangka menengah dan panjang terhadap dampak terhadap lapangan kerja dan potensi manfaat di Indonesia.

Untuk itu, Shinta mengatakan, upaya peningkatan nilai tukar harus dilakukan dengan bantuan langkah-langkah efektif guna meningkatkan fasilitasi dan dukungan sistem regulasi, termasuk penerapan floor yang dapat meningkatkan kinerja ekspor. dan investasi.

“Sebenarnya kita hanya perlu memperbaiki implementasinya agar lebih selaras dengan tujuan ‘prinsip utama’ reformasi kelembagaan yang ada, seperti UU Cipta Kerja,” jelasnya.

Terkait ekspor, Apindo menyampaikan bahwa Indonesia sudah memiliki faktor untuk meningkatkan kinerja ekspor dengan perjanjian perdagangan FTA/CEPA dan sejauh ini pemanfaatan ekspor masih rendah karena kurangnya sosial, pendidikan dan fasilitasi barang ekspor.

Jika faktor-faktor ini dapat diterapkan secara efektif, hal ini tidak hanya akan meningkatkan ekspor dan investasi langsung serta berkontribusi terhadap peningkatan nilai tukar mata uang, namun juga akan berkontribusi terhadap peningkatan lapangan kerja dan produktivitas perekonomian negara.

“Sehingga perekonomian negara semakin kuat menghadapi tekanan eksternal, dan penggunaan mata uang asing untuk volatilitas nilai tukar juga semakin berkurang. Maka kami berharap pemerintah melihat momentum ini perlu untuk meningkatkan implementasi reformasi kebijakan menjadi lebih baik. mendukung kinerja ekspor dan penanaman modal asing”.

Lihat berita dan artikel lainnya di Google Berita dan Jaringan WA