Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) mengatakan pabrik kertas asal China kini lebih berminat berinvestasi di Vietnam dan Thailand dibandingkan di Indonesia.

Ketua Umum APKI Liana Bratasida mengatakan hal ini disebabkan oleh iklim investasi yang lebih baik di Vietnam dan Thailand, termasuk upah tenaga kerja dan dukungan pemerintah daerah dalam hal kemudahan perizinan.

“Mereka [China] sekarang punya lebih dari Indonesia, apalagi untuk kertas ya, ke Vietnam dan Thailand karena dipromosikan dan diberi banyak insentif oleh pemerintah,” kata Liana saat ditemui di Jiexpo, Rabu (21/21). ). 8/2024). 

Padahal, potensi produksi atau manufaktur China sangat besar karena teknologi negara tersebut mampu membuat produksi lebih efisien dan memiliki kapasitas lebih besar dibandingkan produksi Indonesia. 

Saat ini Indonesia mempunyai 112 industri pulp dan kertas dengan total kapasitas 11,45 juta ton pulp dan 21,19 juta ton kertas. Industri pulp dan kertas Indonesia berkontribusi signifikan terhadap produk domestik bruto (PDB) nonmigas sebesar 4,63% pada tahun 2023 dan menghasilkan devisa sebesar $8,28 miliar. 

Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal/Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi pada industri kertas dan percetakan mencapai 1,8 miliar dolar AS sepanjang semester I 2024. Sepanjang tahun 2023, investasi di sektor ini akan mencapai $3,4 miliar, atau meningkat pesat dibandingkan $1,6 miliar pada tahun lalu. 

Namun Liana tidak memberikan data akurat yang membandingkan investasi di sektor kertas dari Tiongkok yang umumnya mengalir ke Vietnam dan Thailand. Namun, ia mendorong pemerintah lebih ramah terhadap investor sehingga juga bisa mendorong tumbuhnya industri lokal. 

“Iklim harus diciptakan dan perizinannya tidak ribet, yang satu ini, yang lain, agar investor bisa datang ke Indonesia dengan senang hati,” ujarnya. 

Apalagi untuk industri kertas, China merupakan salah satu negara tujuan ekspor pulp dan kertas terbesar dibandingkan negara Asia lainnya. Pada tahun 2023, total nilai ekspor Tiongkok akan mencapai $2,6 miliar untuk pulp dan $502 juta untuk produk kertas. 

Selain investasi, untuk mendukung kinerja industri lokal, APKI mendukung kerja sama di bidang alih teknologi permesinan. Liana meyakini China adalah raja produsen di berbagai subsektor.

“Kapasitas [China] besar sekali, produknya dijual di dalam negeri, tapi masih surplus, dijual kembali ke luar negeri, di mana-mana. Jadi sudah menguasai semua proses produksi dan teknologinya,” ujarnya.

Bisnis lokal selalu berusaha mengimbangi skala manufaktur Tiongkok, namun masih dibatasi oleh kekuatan teknologi. Secara keseluruhan, Liana juga menjelaskan industri pulp dan kertas mempunyai beberapa tantangan. 

Tantangan dalam negeri berasal dari kebijakan terkait kebutuhan bahan baku produksi, meski tidak tersedia di dalam negeri. Artinya, industri membutuhkan kemudahan akses impor bahan baku/bahan tambahan. Dalam hal ini, pangsa bahan baku kertas yang diimpor adalah 40-50%. 

Sementara tantangan eksternal antara lain ancaman kebijakan UU Anti Deforestasi yang diterapkan Uni Eropa, Carbon Limit Adjustment Mechanism (CBAM). Tak hanya itu, situasi geopolitik global yang panas juga berdampak pada aktivitas industri nasional. 

“Dalam situasi geopolitik saat ini, dimana terjadi perang, maka perekonomian nasional dan kemudian perekonomian global juga kurang baik karena ada perang, kapal harus berputar, logistik menjadi lebih mahal, tidak hanya mahal bagi kita. lama, menghambat proses produksi,” jelasnya. 

Lihat berita dan artikel lainnya di Google Berita dan saluran WA