Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Koperasi (Kemenkop) mengungkap alasan peternak di Boyolali dan Pasuruan membuang susu karena tidak terserap pasar susu (IPS).
Menteri Koperasi (Menkop) Budi Arie Setiadi mengatakan permasalahan peralatan IPS sudah berlangsung lama.
Permasalahan peralatan yang digunakan pada industri susu yang kini beredar di masyarakat merupakan bagian dari permasalahan industri dan produksi susu yang baru ada sejak lama, kata Budi dalam pertemuan dengan Koperasi Susu Boyolali. . di Kantor Kerjasama, Jakarta, Senin (11/11/2024).
Menurut Budi, dengan perubahan yang terjadi saat ini terkait industri susu baru, permasalahan ini lebih banyak terjadi dibandingkan di Boyolali dan Pasuruan.
Kasus tidak terserapnya susu sapi oleh IPS terjadi di Koperasi Setia Kawan di Pasuruan, Jawa Timur. Dalam kasus ini, IPS beberapa waktu berhenti menerima susu dari koperasi karena sedang menjalani perawatan mekanis.
Budi mengatakan, IPS saat itu diperkirakan akan meningkatkan impor susu karena harga susu dunia sedang turun.
Situasi serupa juga terjadi di Kabupaten Boyolali. Namun tidak hanya koperasi, tetapi juga Badan Usaha Dagang (UD) dan perorangan (pengumpul susu). Harganya 50.000 liter atau sekitar 400 jutaan, misalnya susu harganya Rp 8.000 liter karena tidak diserap IPS.
Dampaknya adalah pembatasan akses susu lokal di IPS yang berlaku selama dua minggu terakhir. Ia mencatat, 30 ton susu di Boyolali tidak dipompa ke pabrik setiap hari.
Sedangkan KUD Mojosongo merupakan salah satu mitra terkait dan merupakan organisasi terbesar dalam produksi susu di Kabupaten Boyolali. Hasil dari batasan PS ini adalah 18 ton susu/hari, sedangkan yang terbuang adalah 5 ton susu/hari.
Melihat permasalahan yang muncul, Budi memastikan produksi peternak dan koperasi susu bisa diserap maksimal oleh IPS atau pabrik. “Kementerian Koperasi akan menggandeng serikat susu dan IPS untuk menjamin terserapnya koperasi susu,” imbuhnya.
Padahal, Kementerian Koperasi mengumumkan konsumsi susu Tanah Air pada tahun 2022 dan 2023 sebesar 4,44 juta ton dan 3,7 juta ton. Namun produksi susu dalam negeri hanya 837.223 ton atau hanya mampu memenuhi 20% kebutuhan susu dalam negeri, dan 80% sisanya diimpor.
Yang lebih miris lagi, kata Budi, IPS yang mengimpor bukan susu segar melainkan susu skim (susu bubuk). Keadaan ini membuat para peternak di Indonesia merugi, dimana harga susu segar lebih murah Rp 7.000, sedangkan harga terbaik Rp 9.000.
Oleh karena itu, Budi mengatakan pengurangan impor susu harus dilakukan secara bertahap hingga mencapai tingkat kecukupan susu pada tahun 2028.
“Pengurangan impor tergantung produk kita, sekarang produknya campur, produksi dalam negeri 20%, impor 80%. Oleh karena itu, dalam jangka waktu tertentu, kita perlu meningkatkan pasokan pangan khususnya susu secara bertahap,” ujarnya.
Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel