Bisnis.com, JAKARTA – Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS) harus berupaya meningkatkan pendapatan dari iuran Program Jaminan Kematian (JKM). Pasalnya, pangsa klaim JKM diperkirakan akan mencapai 100% pada tahun 2026.
Koordinator Advokasi BPJS Timboel Siregar mengatakan, setidaknya ada tiga peraturan pemerintah (PP) yang menggerogoti pendapatan program JCM karena minimnya pendanaan.
Yang pertama adalah PP Nomor 37 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Pekerjaan (JKP). Undang-undang menyatakan bahwa basis pendanaan JCP menerima 0,10% dari kontribusi JCP yang direvisi.
Timboel mengatakan aturan tersebut harus direformasi dengan mengganti basis pendapatan yang dimodifikasi dengan Asuransi Ketenagakerjaan (EMI). Perubahan PP 37/2021 sedang berjalan, ujarnya.
“Kenapa ingat masa lalu? Karena jumlah klaim JCP sedikit. Uang masih menumpuk. Artinya, meski reformasi JCP ditunda, tidak akan mempengaruhi nilai klaim. Tidak akan mempengaruhi stabilitas keuangan. ,” kata Timboel kepada Bisnis, Selasa (3/9/2024).
Aturan kedua adalah PP Nomor 2019 tentang Perubahan Atas UU 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Skema Jaminan Ketenagakerjaan dan Jaminan Kematian. 82.
Aturan tersebut mengatur tentang peningkatan manfaat bagi peserta JKM, dimana ahli waris peserta program JKM dapat menerima tunjangan sebanyak-banyaknya Rp 42 juta dan Rp 174 juta.
Meski bermanfaat bagi peserta, Timboel mengatakan hal itu tidak menambah pendapatan lembaga amal karena adanya penipuan di lapangan.
“Mohon maaf masyarakat kita, banyak kejahatan yang dilakukan oleh oknum kita, yang mau mati didaftarkan, sebulan setelah kematiannya digaji Rp 42 juta ya? dievaluasi oleh BPJS Ketenagakerjaan. “Proses rekrutmennya harus bersifat wajib,” ujarnya.
Undang-undang ketiga adalah PP Nomor 49 Tahun 2020 tentang Perubahan Iuran Program Jaminan Sosial Pada Saat Terjadi Bencana Alam Penyebaran Covid-19. Aturan ini memberikan pembebasan 99% pembayaran iuran JKM pada Agustus 2020 hingga Januari 2021. “Itu berlangsung selama enam bulan dan mempengaruhi pendapatan iuran.”
Timboel juga menjelaskan, meski potensi pendapatan iuran LSM mengalami penurunan, namun peningkatan kewajiban dalam Undang-Undang Pemerintah Nomor 44 Tahun 2015 tentang penyelenggaraan jaminan kerja dan jaminan kematian tidak pernah efektif.
“Padahal PP 44 memerintahkan kenaikan suku bunga deposito, tapi pemerintah tidak pernah melakukannya. Sejak itu sudah 0,3% kan? Kedua, Rp 10.000 untuk BPU (penerima gaji).] JKK dan Rp 6.800 tidak berubah. ., padahal itu inti klaimnya,” kata Timboel.
Berdasarkan laporan keuangan proyek BPJS yang diperkirakan pada tahun 2023, pendapatan iuran program JKM mencapai Rp3,55 triliun dan belanja penjaminan mencapai Rp3,21 triliun. Total pendapatan tercatat sebesar Rp4,72 triliun dan total belanja sebesar 5,38 triliun. Oleh karena itu, Dana Jaminan Sosial (DJS) program JKM pada tahun ini mengalami defisit sebesar Rp653,31 miliar, lebih buruk dibandingkan defisit tahun 2022 sebesar Rp32,36 miliar.
Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA channel